2.1.1
Pengertian Humaniora
Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988), adalah
ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi,
dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Kategori yang tergolong dalam ilmu
ini antara lain:
• Teologi
• Filsafat
• Hukum
• Sejarah
• Bahasa,
Budaya & Linguistik (Kajian bahasa)
• Kesusastraan
• Kesenian
• Psikologi
Menurut bahasa latin, humaniora disebut artes
liberales yaitu studi tentang kemanusiaan. Sedangkan menurut pendidikan Yunani
Kuno, humaniora disebut dengan trivium, yaitu logika, retorika dan gramatika.
Pada hakikatnya humaniora adalah ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang mencakup etika, logika, estetika, pendidikan pancasila,
pendidikan kewarganegaraan, agama dan fenomenologi (Dewi, 2014).
2.1.2 Pentingnya Mempelajari Pendidikan
Humaniora
Berbagai macam kasus kekerasan yang terjadi di dalam
kehidupan bermasyarakat, tindakan anarkis dan pelanggaran nilai kemanusiaan
bahkan sudah menjadi keseharian. Indikatornya adalah pendidikan belum berperan
signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa yang berjiwa sosial dan
kemanusiaan. Tampaknya, manusia harus lebih “dimanusiakan” lagi. Keterpurukan
bangsa yang berlarut-larut juga berhubungan dengan kegagalan pendidikan di masa
lalu yang mengakibatkan terjadinya proses dehumanisasi.
Gagasan dan langkah menuju pendidikan yang
berorientasi kemanusiaan merupakan salah satu upaya mengembalikan nilai-nilai
kemanusiaan yang semakin terkikis. Melalui pendidikan de-humaniora diharapkan
manusia dapat mengenal dirinya, kemanusiaannya yang utuh, dan tidak hanya dapat
menundukkan lingkungan alam fisik melalui kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pada prinsipnya, pendidikan humaniora bertujuan
membuat manusiawi/untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia.
2.1.3 Latar Belakang Pendidikan Humaniora
1. Pengertian kebudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara
belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Untuk lebih jelas dapat dirinci sebagai berikut :
a.
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia
yang meliputi kebudayaan material dan kebudayaan non material.
b.
Kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
c.
Kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia dan hampir semua tindakan
manusia adalah kebudayaan.
2. Manusia sebagai pengemban nilai-nilai
Di muka telah dijelaskan bahwa adanya akal dan
budidaya pada manusia, telah menyebabkan adanya perbedaan cara dan pola hidup
di antara keduanya. Oleh karena itu, akal dan budi menyebabkan manusia memiliki
cara dan pola hidup yang berdimensi ganda, yakni kehidupan yang bersifat
material dan kehidupan yang bersifat spiritual. Manusia dimanapun dia berada
dan apapun kedudukannya selalu berpengharapan dan berusaha merasakan nikmatnya
kedua jenis kehidupan tersebut.
Hal di atas sebagaimana kodrat dari Tuhan bahwasanya
manusia memang ditakdirkan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling
mengenal. Saling mengenal di sini diartikan bahwasanya agar mereka yang
berbeda-beda itu bisa saling melengkapi dalam artian memberi dan menerima.
Kemajuan dan perkembangan yang hanya terbatas pada
kemajuan material saja akan menimbulkan kepincangan pada kehidupan manusia.
Kehidupan mereka kurang sempurna, dimensi di dalamnya akan hilang, karena batin
mereka kosong akibatnya tidak akan memperoleh ketenteraman, ketertiban hidup,
melainkan justru dapat lebih rusak karenanya.
Material dan spiritual adalah dua hal yang saling
melengkapi. Dua hal ini bagaikan jasad dan ruh. Kebahagiaan material akan
menunjang jasmani kita, sedangkan kebahagiaan spiritual akan menunjang ruhani kita.
3. Manusia sebagai makhluk termulia
Kalau kita lihat dari segi bentuk fisiknya maupun
yang ada di sebaliknya, tidak berlebihan kalau manusia menyatakan dirinya
sebagai makhluk termulia. Di antara makhluk-makhluk lain ciptaan Tuhan.
Beberapa keistimewaan yang dimiliki manusia
dibanding dengan makhluk yang lain, adalah :
a.
Manusia mampu mengatur perkembangan hidup makhluk lain dan
menghindarkannya dari kepunahan.
b.
Manusia mampu mengubah apa yang ada di alam ini
c.
Manusia memiliki ilmu pengetahuan yang karenanya kehidupan mereka makin
berkembang dan makin sempurna
d. Semua
unsur alam termasuk makhluk-makhluk lain dapat dikuasai manusia dan
dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.
4. Budaya sebagai sarana kemajuan dan sebagai
ancaman
Filsuf Hegel dalam abad ke-19 membahas budaya
sebagai keterasingan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam berbudaya, manusia
tidak menerima begitu saja apa yang disediakan oleh alam, tetapi mengubahnya
dan mengembangkannya lebih lanjut.
Dengan akal dan dayanya, manusia berusaha untuk
merubah sesuatu yang bersifat bahan mentah, yang disediakan oleh alam menjadi
bahan jadi yang bisa dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka. Dengan
selalu berfikir dan mencoba, menjadikan manusia menjadi maju. Lain halnya
dengan mereka yang tidak berminat untuk selalu berfikir dan mencoba. Pasti,
akan terlihat sekali perbedaan antara keduanya.
Selain sebagai kemajuan budaya juga bisa menjadi
ancaman. Budaya merupakan bahaya bagi manusia sendiri, yang dimaksud umpama
tekhnik, peradaban, pabrik berasap, udara yang penuh debu, kota yang kotor,
hutan yang masih kotor, kediktatoran akal dan budaya yang tamat. Baginya budaya
itu menguasai, menyalahgunakan, menjajah dan mematikan.
Begitulah keadaannya jika manusia mengembangkan
kebudayaannya tanpa memperhatikan etika. Akan terlihat sekali perbedaan antara
pengembangan kebudayaan yang memperhatikan etika dan yang tidak.
2.1.4 Metode Pendidikan Humaniora
Tugas pendidikan masa kini, pertama-tama bukannya
mengajarkan “apa yang paling baik diketahui dan dipikirkan pada masa lampau”,
akan tetapi yang lebih penting adalah menyajikan informasi dan orientasi
terhadap masa kini, dan khususnya orientasi terhadap masa depan di mana
nantinya para siswa akan hidup di dalamnya. Dengan pendidikan seperti itu,
mereka akan memiliki kepekaan dan kemampuan-kemampuan untuk mengambil bagian
secara kreatif di berbagai kehidupan masa mendatang.
Mengingat masa lampau tidak akan memberikan
kesegaran pada masa kini dan yang akan datang. Sesuai dengan maqolah dalam buku
“Laa Tahzan” bahwasanya hari ini adalah milik anda. Yang perlu kita fikirkan
adalah hari ini, marilah kita hadapkan diri kita pada kejadian sekarang. Boleh
juga kita menoleh masa lampau, sekedar untuk pelajaran. Kita bisa mengoreksi diri
kita dengan melihat kesalahan-kesalahan pada masa lampau. Namun hanya sebatas
itu, jangan kita terlalu larut dalam kejadian masa lampau.
Pendidikan humaniora adalah pembinaan kualitas
kepribadian anak didik, yaitu untuk mencapai tujuan pengembangan “pribadi
seutuhnya”, maka perlu untuk disajikan program-program kegiatan
belajar-mengajar yang sifatnya non-verbal, sehingga memungkinkan anak didik
untuk mengembangkan kesadaran kepekaannya, serta kemampuan-kemampuan lainnya
untuk menikmati kehidupan aktual dan bukan lagi terkungkung hanya di dalam
lingkungan dunia intelek yang serba abstrak.
Hal tersebut sangat penting, seseorang yang hanya
intelek, tidak akan seimbang jika tidak disertai dengan kecakapan. Orang yang
tidak cakap tidak akan mampu menunjukkan dan mengembangkan keintelekannya.
Begitu pula orang yang cakap tapi tidak intelek. Dia mampu menunjukkan dan
mengembangkan sesuatu. Akan tetapi, dia tidak punya sesuatu atau materi atau
bahan untuk ditunjukkan dan dikembangkan.
Selain hal-hal di atas, pendidikan humaniora juga
mementingkan masalah spiritual. Manusia tak cukup hanya kaya, tampan, cantik
dan berkecukupan. Orang yang tersebut tidak akan tenang hatinya tanpa adanya
ketenteraman hati. Hal ini dapat dicapai dengan selalu mendekatkan diri pada sang
khaliq dan mensyukuri nikmat-Nya (Habiysanji, 2012).
2.2
Etika Umum
2.2.1
Pengertian Etika
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti
"timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of
Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis
(practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur
etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan
kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan
pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai
perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis,
metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan
suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.
Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari
sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika
(studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika
terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
2.2.2
Fungsi Etika
Etika dalam hal ini berfungsi untuk lebih
“memanusiakan manusia”. Mengapa demikian? Karena salah satu ciri dan anugerah
yang dimiliki manusia adalah adanya hati atau perasaan dan juga akal pikiran.
Etika mengajak manusia untuk lebih menggunakan kedua anugerah tersebut,
khususnya hati, agar manusia mempunyai tingkah laku yang baik, dan hal ini
sangatlah penting dalam menjalin hubungan antarmanusia karena tentunya sesorang
tidak akan mau atau enggan bergaul dengan seseorang yang tidak beretika dan
bermoral. Mengapa manusia perlu beretika? Pada dasarnya adalah karena setiap
manusia ingin dihargai satu sama lain. Manusia secara naluriah ingin
menciptakan citra yang baik tentang dirinya kepada manusia lain. Untuk alasan
itulah manusia beretika. Tentu bisa kita bayangkan apa jadinya dunia ini jika
seluruh manusia tidak memiliki etika. Mungkin kita semua akan kembali menjadi
masyarakat barbarian.
Sebuah contoh sederhana mengenai etika adalah ketika
seseorang bermaksud untuk menelepon temannya, tetapi orang tersebut menelepon
di jam 11 malam. Sekalipun orang yang ditelepon tersebut adalah sahabat
dekatnya, atau dia tahu bahwa sahabatnya tersebut biasanya baru tidur di atas
jam 12 malam, atau bahkan sahabatnya itu hanya tinggal sendiri di rumahnya,
tetap saja bahwa keputusan orang tersebut untuk menelepon pada jam 11 malam
dianggap tidak etis. Hal ini dianggap tidak etis karena nilai yang berkembang
di masyarakat kita adalah bahwa di atas jam 9 atau jam 10 malam sudah menjadi
“jam pribadi” bagi seseorang, dalam arti tidak bisa diganggu lagi untuk masalah
atau urusan apa pun, kecuali hal tersebut memang bersifat mendesak (urgent),
sehingga bila ada seseorang yang menelepon di atas jam 10 malam akan dianggap
tidak etis, apalagi jika hanya untuk membahas hal-hal yang sebenarnya bisa
ditunggu hingga keesokan harinya.
Dari contoh sederhana tersebut dapat kita lihat
bahwa betapa pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari kita. Etika sangat
penting dalam membina hubungan atau relasi kita dengan orang lain. Secara tidak
sadar orang yang beretika akan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang
lain daripada yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan etika. Orang yang
beretika pun akan lebih dipandang dan dihargai oleh orang lain walaupun dia
tidak pernah meminta atau berharap untuk hal tersebut. Hal penting lainnya
adalah bahwa etika sangat berperan dalam pembentukan citra diri seseorang,
terlepas dari apakah orang tersebut ikhlas atau tidak, tapi ketika dia tahu
mana yang etis dan yang tidak etis, setidaknya orang-orang akan melihat orang
tersebut sebagai seseorang yang beretika dan berperilaku baik, dan salah satu
manfaatnya adalah untuk dirinya sendiri.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak
memperhatikan etika? Etika tidaklah seperti hukum yang memiliki sejumlah
peraturan dan perundangan yang bisa memaksa manusia untuk patuh terhadap hukum
yang berlaku. Dalam hukum bila ada seorang yang melanggar hukum tentu, baik
secara sengaja maupun tidak sengaja akan mendapatkan sanksi sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan (diproses secara hukum). Sementara itu etika
bukanlah suatu hal tertulis dan bukan suatu hal yang memiliki
konsekuensi-konsekuensi seperti sanksi hukum bagi yang melanggar aturan-aturan
yang berlaku. Karena ukuran dari etika adalah ‘baik dan buruk’ atau ‘pantas
atau tidak pantas’, orang-orang yang melanggar nilai-nilai etika tidak akan
mendapatkan sanksi layaknya sanksi hukum. Mereka yang melanggar etika akan
mendapatkan sanksi yang berupa sanksi sosial. Sanksi sosial ini bisa berupa
cibiran dari orang-orang sampai dengan pengucilan atau bahkan pengasingan untuk
kasus pelanggaran etika yang sangat berat.
Beberapa orang mungkin tidak begitu menganggap etika
sebagai suatu hal serius karena melihat dari konsekuensinya yang hanya berupa
sanksi sosial. Seseorang tidak akan didenda ratusan juta rupiah atau bahkan
masuk penjara hanya karena tidak memberikan tempat duduk untuk seorang orang
tua, terutama ibu-ibu, di dalam sebuah kereta. Orang tersebut mungkin hanya
akan menjadi sedikit perhatian bagi penumpang lainnya, menjadi sedikit
pembicaraan bahwa orang tersebut tidak seharusnya berdiam diri dan membiarkan
orang tua tersebut berdiri sementara dia yang masih muda, dalam arti masih
lebih kuat secara fisik, duduk di tempat duduk tersebut. Karena itulah
orang-orang terkadang tidak begitu menghiraukan masalah etika. Kebanyakan orang
lebih sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri tanpa lagi melihat baik atau
buruk dan pantas atau tidak pantas. Hal ini tentu kembali kepada hati tiap
manusia karena etika berhubungan dengan rasa, dan rasa ini dirasakan di dalam
hati manusia. Hati manusialah yang bisa menilai etis atau tidak etisnya tingkah
laku yang dia perbuat. Jika seseorang masih memiliki rasa etika dalam dirinya
tentu orang tersebut memiliki hubungan dan citra yang baik di dalam masyarakat,
tapi sebaliknya jika seseorang tidak mempedulikan etika tentunya orang tersebut
akan dipandang “berbeda” dari lingkungan dan masyarakat karena dianggap tidak
dapat melihat dan merasakan mana hal yang baik atau buruk dan pantas atau tidak
pantas.\
2.3
Shame Culture (Budaya Malu), Guilt Culture (Budaya Bersalah)
Pada tahun
1948 Ruth Benedict seorang antroplog
dalam bukunya yang berjudul The
Chrysanthemum and the Sword, memperkenalkan istilah Shame Culture (Budaya Malu)
dan Guilt Culture (Budaya Bersalah) yang digunakan sebagai dikotomi
pembagian bagaimana pola pikir
Barat dan Timur. Barat
di kategorikan sebagai guilt culture dimana orang merasa
bersalah kalau melakukan sesuatu perbuatan yang salah sekalipun tidak
ada yang melihat. Contohnya di Jerman dan negara negara Eropa Barat (kecuali
Inggris), kalau anda naik kereta api dan bis dalam kota tidak ada yang memeriksa apakah anda punya
tiket atau tidak, tapi orang orang yang menggunakan moda transport tersebut
tetap membeli tiket sesuai dengan tujuannya masing masing karena mereka merasa
bersalah (guilt) kalau naik transportasi umum tidak membayar.
Sebaliknya suatu bangsa yang
menganut shame culture, orang
akan terus melakukan sesuatu perbuatan yang salah
dan merasa nyaman saja dan akan
merasa malu (shame) jika diketahui orang lain. Menurut pandangan ini budaya
malu (shame culture) adalah kebudayaan
dimana kata kata seperti “hormat”,
“reputasi” , “nama baik”, “status”, dan
“gengsi” sangat ditekankan. Bila seseorang melakukan suatu kejahatan, hal
ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk begitu saja,
tetapi boleh disembunyikan demi kepentingan yang lebih besar. Malapetaka hanyalah terjadi bilamana kesalahan tersebut diketahui oleh
orang lain sehingga pelaku kehilangan muka. Jadi jangan heran jika laporan KPK
di intervensi, kasus Century masih kabur, KPK dan Polisi saling berkelahi semuanya itu dilakukan demi
menyelamatkan yang namanya hormat”, “reputasi” , “nama baik”, “status”, dan “gengsi.
Ketika terjadi promosi jabatan untuk sejumlah bekas
terpidana korupsi di Provinsi Kepulauan Riau
beberapa pakar berkomentar: “rasa malu di kalangan pejabat publik
Indonesia semakin menipis”. Jika dibiarkan, kondisi ini rawan menyuburkan praktik
korupsi di pemerintahan. “Kalau punya malu, mereka semestinya tak bekerja lagi
sebagai pegawai negeri sipil (PNS), apalagi kemudian diangkat menjadi pejabat
publik,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia, Salim
Said, di Jakarta, Rabu (24/10/2012).Menurut Salim Said, pengangkatan para
mantan terpidana korupsi sebagai pejabat itu mencerminkan bahwa orang tak
merasa malu lagi untuk bekerja melayani publik meski cacat moral. Orang yang
terbukti korup itu berarti telah mengkhianati amanat melayani rakyat.
“Enak saja, mereka sudah korup, diadili dan terbukti
korupsi, dijatuhi hukuman, kok malah balik lagi menjadi pejabat. Mereka harus
mundur dari jabatannya,” kata Salim.
“Siapa saja yang pernah dihukum karena korupsi tidak boleh lagi diangkat
menjadi pejabat publik dalam semua tingkat selamanya,” katanya.
Wajar saja Prof
Salim geram, tapi kalau Ruth
Benedict masih hidup dan sekalipun terdapat pro dan kontra terhadap doktrinnya
dikalangan para antropolog, melihat
fakta di mana orang yang jelas
jelas bersalah (guilt) tapi tetap saja
tidak memiliki rasa malu (shame) mungkin
beliau akan menambah satu lagi tipologi
nya menjadi No Culture
khusus kepada orang orang semacam ini. Diawal awal
penelitiannya Ruth Benedict
menggunakan sampel Amerika sebagai guilt culture dan Jepang
sebagai shame culture. Tapi penelitian yang dilakukan oleh Prof.
Creighton dari University of British Columbia
Vancouver membuktikan bahwa orang
Jepang ternyata lebih ke guilt culture.
Sifat kesahihan penelitian ilmu
sosial adalah tentatif: diterima bila sementara belum ada teori baru yang menyanggahnya. Lihat saja
tipologi dimensi Hofstede National Culture yang awalnya cuma ada empat:
Power Distance, Uncertainty Avoidance, Masculine vs Feminine, Collectivism vs Individualism,
begitu sampai ke Asia timbul satu dimensi baru yang namanya Long Term
Orientation. Melihat fakta fakta yang terjadi di negara tercinta, tidak kah
anda merasa malu bila satu dimensi yang
bernama No Culture atau apapun namanya akan
muncul dengan mengambil sampel
Indonesia? (Ismirajiani, 2012)
2.3.1
Ciri-ciri Shame Culture dan Guil Culture
Ciri-ciri Shame Culture
1. Ditandai rasa malu
2. Menekankan pengertian ; hormat, reputasi, nama
baik, status dan gengsi
3. Bila melakukan kejahatan harus disembunyikan dari
orang lain.
4. Sanksi datang dari luar, yaitu apa yang
dipikirkan dan dikatakan oleh orang lain
5. HATI NURANI hampir tidak berperan
Ciri-ciri Guilt Culture
1. Ditandai rasa bersalah
2. Dosa dan kebersalahan
3. Kendati suatu kejahatan tidak diketahui oleh
orang lain, pelaku tetap
merasa bersalah
4. Sanksi datang dari dalam, yaitu batin/hati pelaku
5. HATI NURANI berperan sangat penting
6. Ditandai oleh martabat manusia (kaskus, 2006)
2.4 Kebebasan dan Tanggung Jawab
2.4.1 Pengertian Kebebasan
Dalam KBBI
bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat
bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa). Dalam filsafat pengertian
kebebasan adalah Kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan
lebih bermakna positif, dan ia ada sebagai konsekuensi dari adanya potensi
manusia untuk dapat berpikir dan berkehendak. Sudah menjadi kodrat manusia
untuk menjadi mahluk yang memiliki kebebasan, bebas untuk berpikir,
berkehandak, dan berbuat.
Lebih jauh,
Kamus John Kersey mengartikan bahwa ‘kebebasan’ adalah sebagai ‘kemerdekaan,
meninggalkan atau bebas meninggalkan.’ Artinya, semua orang bebas untuk tidak
melakukan atau melakukan suatu hal. Pengertian yang lebih banyak memiliki
unsur-unsur hukum bisa dilihat dari definisi ‘kebebasan’ dari Kamus Hukum
Black. Menurut Black, ‘kebebasan’ diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari
semua bentuk-bentuk larangan kecuali larangan yang telah diatur didalam
undang-undang.
Beberapa Arti Kebebasan
I.
Kebebasan Sosial Politik
Dalam
perspektif etika, kebebasan juga bisa dibagi antara kebebasan sosial-politik
dan kebebasan individual. Subyek kebebasan sosial-politik –yakni, yang disebut
bebas di sini—adalah suatu bangsa atau rakyat. Kebebasan sosial-politik
sebagian besarnya merupakan produk perkembangan sejarah, atau persisnya produk
perjuangan sepanjang sejarah.
Ada dua
bentuk kebebasan rakyat dengan kekuasaan absolute raja, contoh piagam Magna
Charta (1215), yang terpaksa dikeluarkan oleh Raja John untuk memberikan
kebebasan-kebebasan tertentu kepada baron dan uskup Inggris. Kedua kemerdekaan
dengan kolinialisme, contoh The Declaration of Indepndence (1766), dimana Amerika Serikat merupakan negara
pertama yang melepaskan dari kekuasaan Inggris.
II.
Kebebasan Individual
Berbeda
dengan kebebasan sosial-politik, subyek kebebasan individual adalah manusia
perorangan. Dari sudut pandang perorangan, juga terdapat beberapa arti
”kebebasan” yang bisa dipaparkan di sini. Sebagai contoh, terkadang kebebasan
diartikan dengan.
• Kesewenang-wenangan
Orang disebut
bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Di sini “bebas”
dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Dapat
dikatakan bertindak semau gue itulah kebebasan. Kebebasan dalam arti
kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut “kebebasan”.
Di sini kata
“bebas” disalahgunakan. Sebab, “bebas” sesungguhnya tidak berarti lepas dari
segala keterikatan. Kebebasan yang sejati mengandaikan keterikan oleh
norma-norma. Norma tidak menghambat adanya kebebasan, tapi justru memungkinkan
tingkah laku bebas.
• Kebebasan
Fisik
Yakni,
”bebas” diartikan dengan tidak adanya paksaan atau rintangan dari luar. Ini
merupakan pengertian yang dangkal, karena bisa jadi secara fisik seseorang
dipenjara, tetapi jiwanya bebas merdeka. Sebaliknya, ada orang yang secara
fisik bebas, tetapi jiwanya tidak bebas, jiwanya diperbudak oleh hawa nafsunya,
dan lain-lain.
Biarpun
dengan kebebasan fisik belum terwujud kebebasan yang sebenarnya, namun
kebebasan ini patut dinilai positif. Jika kebebasan dalam arti
kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka
kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu.
• Kebebasan
Yuridis
Kebebasan ini
berkaitan dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum. Kebebasan yuridis
merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Sebagaimana tercantum pada
Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), yang dideklarasikan
oleh PBB tahun 1948.
Kebebasan
dalam artian ini adalah syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar
kita dapat menjalankan kebebasan kita secara konkret. Kebebasan yuridis
menandai situasi kita sebagai manusia. Kebebasan ini mengandalkan peran negara,
yang membuat undang-undang yang cocok untuk keadaan konkret.
1. Kebebasan
yang didasarkan pada hukum kodrat, sama dengan hak asasi manusia seperti
dirumuskan dalam deklrasi universal. Manusia bebas bekerja, memilih profesinya
dan mempunyai milik sendiri, menikah, dan banyak hal lain lagi. Terdapat pula
kebebasan beragama dan hati nurani.
2. Kebebasan
yang didasarkan pada hukum positif, diciptakan oleh negara melalui penjabaran
dan perincian kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
• Kebebasan
Psikologis
Adalah
kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya.
Nama lain untuk kebebasan psikologis itu adalah ”kehendak bebas’ (free will).
Kemampuan ini menyangkut kehendak, bahkan ciri khas. Kebebasan ini berkaitan
erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berrasio.
Jika manusia
bertindak bebas, itu berarti ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebab
diperbuatnya. Berkat kebebasan ini ia dapat memberikan suatu makna kepada
perbuatannya. Kemungkinan untuk memilih antara pelbagai alternatif merupakan
aspek penting dari kebebasan psikologis.
• Kebebasan
Moral
Sebetulnya
masih terkait erat dengan kebebasan psikologis, namun tidak boleh disamakan
dengannya. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis, sehingga tanpa
kebebasan psikologis tidak mungkin terdapat kebebasan moral. Namun, kebebasan
psikologis tidak berarti otomatis menjamin adanya kebebasan moral.
Cara yang
paling jelas untuk membedakan kebebasan psikologis dengan kebebasan moral
adalah bahwa kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja (free), sedangkan
kebebasan moral berarti suka rela (voluntary) atau tidak terpaksa secara moral,
walaupun ketika mengambil keputusan itu seseorang melakukan secara sadar dan
penuh pertimbangan (kebebasan psikologis).
• Kebebasan
Eksistensial
Kebebasan
yang menyeluruh yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada
salah satu aspek saja. Kebebasan ekstensial adalah kebebasan tertinggi.
Kebebasan ekstensial adalah konteks etis. Kebebasan ini terutama merupakan
suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan
manusia.
Orang yang
bebas secara eksistensial seolah-olah “memiliki dirinya sendiri.” Ia mencapai
taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas dan kematangan rohani. Ia lepas dari
segala alienasi atau keterasingan, yakni keadaan di mana manusia terasing dari
dirinya dan justru tidak “memiliki” dirinya sendiri. Kebebasan ini selalu patut
dikejar, tapi jarang akan terealisasi sepenuhnya.
Beberapa Masalah Mengenai Kebebasan
I. Kebebasan Negatif dan
Kebebasan Positif
Beberapa
tahun yang lalu, seorang filsuf politikus terkemuka, Isaiah Berlin secara resmi
merangka perbedaan antara dua prespektif ini sebagai perbedaan antara dua
konsep kebebasan yang berlawanan: kebebasan positif dan kebebasan negatif.
sebagai dua aliran dalam filosofi politik demokratis – dua model yang
membedakan John Locke dari Jean-Jacques Rousseau. Keduanya mempengaruhi
motivasi hidup seseorang dalam lingkungan tertentu.
Kebebasan
negatif adalah adalah bebas dari hambatan dan diperintah oleh orang lain.
William Ernest Hockin, Freedom of the Pers: A Framework of Principle (1947).
Hockin menyatakan definisi kebebasan berbeda dari liberalisme klasik dimana
kebebasan (negatif) berarti tidak adanya batasan.
Kebebasan
positif adalah tersedianya kesempatan untuk menjadi penentu atas kehidupan Anda
sendiri dan untuk membuatnya bermakna dan signifikan. Kebebasan positif adalah
poros konseptual tempat berkembangnya tanggung jawab sosial. Implikasi hukum
dari kebebasan positif dikembangkan oleh Zechariah Chafee dalam karya dua jilid
nya Government and Mass Communciation (1947).
II. Batas-batas Kebebasan
Kebebasan mempunyai beberapa batas-batasan. Batasan
ini ada agar kita bisa mengendalikan pemikiran kita mengenai kebebasan itu.
• Faktor-faktor
dari dalam
Kebebasan pertama-tama dibatasi oleh faktor-faktor
dari dalam, baik fisik maupun psikis.
• Lingkungan
Kebabasan
yang dibatasai oleh lingkungan, baik ilmiah maupun sosial. Lingkungan ini
sangat menentukan pandangan kita mengenai kebebasan. Karena di setiap lingkungan
yang berbeda maka mereka mempunya pandangan yang berbeda pula.
• Orang
Lain
Dalam budaya
Barat, undang-undanglah yang menentukan batasan kebebasan dan undang-undang ini
hanya menyoroti masalah sosial yang ada. Artinya, undang-undang mengatakan
bahwa kebebasan seorang tidak boleh menodai kebebasan orang lain dan
membahayakan kepentingan mereka. Setiap manusia memiliki kebebasannya
masing-masing dan hal tersebut menjadi pembatas bagi kebebasan menusia yang
lainnya. Hak setiap manusia atas kebebasan yang sama.
Sejalan
dengan ketentuan peraluran perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi.
Ayat dua (2)
dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata
pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban. serta
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
• Generasi-generasi
mendatang
Kebebasan
juga dibatasi oleh masa depan umat manusia, atau generasi mendatang. Kebebasan
kita dalam menggunakan sumber daya sampai poin tertentu, sehingga generasi
kedepan juga bias menggunakan alam sebagai dasar kebutuhan hidupnya, atau
istilahnya adalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan)
III. Kebebasan dan Determenisme
Kebebasan
merupakan persoalan yang, paling tidak, sama tuanya dengan usia manusia itu
sendiri.persoalan kebebasan telah merambah ke wilayah politik dan ekonomi.
Determinisme maksudnya adalah kejadian-kejadian dalam alam berkaitan satu sama
lain menurut keterikatan yang tetap, sehingga satu kejadian pasti mengakibatkan
kejadian lain. Dengan itu hubungan determinisme dan kebebasan dapat dilukiskan
dengan baik. Dalam alam di luar manusia pada prinsipnya terdapat kemungkinan
sepenuhnya untuk mengadakan ramalan. Kemungkinan itu hanya dibatasi oleh
keterbatasan dan teknik manusia. Kemungkinan untuk meramal adalah relatif besar
dalam kaitan dengan pola-pola tingkah laku kelompok besar manusia yang
melakukan hal-hal normal atau yang berkelakuan secara rutin. Disini terjadi
bahwa manusia mengikuti motif-motif yang berlaku bagi masyarakat kebanyakan.
Kemungkinan hampir sepenuhnya untuk meramal pada perbuatan-perbuatan manusia
yang dijalankan menurut suatu rencana. Keputusan yang diambil manusia
perorangan pada prinsipnya tidak bisa diramalkan, terutama kalau keputusan itu
menyangkut suatu hal penting.
Hampir semua
filsuf, entah eksistensialis, fenomenologis, ataupun tomis membenarkan
kebebasan kehendak manusia.“Kita mempunyai kesan ‘bahwa kita bebas’ karena kita
tidak sadar akan motif-motif yang menetukan kita. Motif-motif itu tidak kita
sadar”. Itulah bentuk determinisme dari beberapa penganut Freud.
2.4.2
TANGGUNG JAWAB
Tanggungjawab
berkaitan dengan “penyebab”. Yang bertanggung jawab hanya yang menyebabkan atau
yang melakukan tindakan. Tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan dan
sebaliknya. Bertanggung jawab berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang
perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta
penjelasan tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab tetapi juga
harus menjawab.
Tanggung
jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang
tingkah laku atau perbuatannya. Dalam tanggung jawab terkandung pengertian
penyebab. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang
yang tidak menjadi penyebab suatu akibat maka dia tidak harus bertanggung jawab
juga. Tanggung jawab bisa berarti langsung atau tidak langsung.
Tanggung jawab pun bisa berarti prospektif ataupun
retrospektif.
• Tanggung
jawab prospektif, bertanggung jawab atas perbuatan yang akan datang,
• Sedang
tanggung jawab retrospektif, adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah
berlangsung dengan segala konsekuensinya,
Manusia
adalah mahluk sosial. Dalam kesosialannya diandaikan kebebasan dan setiap
kesosialan yang mengandaikan kebebasan selalu lahir implikasi yang harus
dipertanggungjawabkan Kebebasan yang kita miliki tidak boleh diisi dengan
sewenang-wenang, tetapi secara bermakna. (Semakin bebas, semakin bertanggung
jawab).
Tingkat-tingkat Tanggung Jawab
Sebenarnya,
untuk menentukan bertanggung jawabkah seseorang kita harus melihat beberapa
faktor orang tersebut. Ada hukum-hukum yang sudah mulai jelas mengenai tanggung
jawab. Walau kadang kala hukum tersebut sering disalahgunakan. Namun untuk
memastikan tingkat-tingkat tanggung jawab itu bukanlah suatu hal yang mudah.
Jadi, bertanggung jawab haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan seseorang,
yang berkaitan dengan tugasnya dan kewajiban terhadap apa yang dilakukannya..
Mari kita
memandang beberapa contoh di mana terlihat bahwa – tentang perbuatan yang
kira-kira sama jenisnya – satu orang bertanggung jawab dan orang lain tidak
ber¬tanggung jawab, sedangkan orang lain lagi lebih atau ku¬rang bertanggung
jawab dibanding temannya. Semua contoh menyangkut kasus pencurian. Dengan
“mencuri” kita mak¬sudkan: mengambil barang milik onang lain tanpa izin. Yang
terjadi dalam semua contoh ini adalah bahwa orang mengam¬bil tas milik orang
lain berisikan satu juta rupiah tanpa izin pemiliknya. Kita bisa membayangkan
kasus-kasus berikut ini, lalu mempelajari derajat tanggung jawabnya. Bagaimana
tingkat tanggungjawab dari kasus dibawah ini apakah yang bersangkutan bisa
dikenakan sanksi pencurian :
• Ali
mencuri tapi ia tidak tahu bahwa ia mencuri.
Ali mengambil
tas milik orang lain berisikan uang 100 juta rupiah, karena ia berpikir tas itu
adalah tas miliknya sendiri. Maklumlah, warna dan bentuknya persis sama dengan
tas yang menjadi miliknya.
• Budi
mencuri, karena dia seorang kleptoman.
Budi juga mengambil tas berisikan uang milik orang
lain tapi ia menerima kelainan jiwa yang disebut "kleptomani", yaitu
ia mengalami paksaan batin untuk mencuri.
• Cipluk
mencuri, karena dalam hal ini ia sangka ia boleh mencuri.
Cipluk ini
seorang janda yang mempunyai lima anak yang masih kecil. Mereka sudah beberapa
hari tidak dapat makan, karena uangnya sudah habis sama seakali. Ia sudah
menmpuh segala cara yang dapat dipirkan untuk memperolah makanan yang
dibutuhkan. Mengemispun ia sudah coba. Tapi sampai sekarang ia gagal terus.
Pada suatu ketika kebetulan ia mendapat kesempatan emas untuk mencuri tas
berisikan uang. Cipluk berpendapat bahwa dalam hal ini ia boleh mencuri.
• Darso
mencuri karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya.
Karena
perawkannya pendek, Darso dipaksa oleh majikannya untuk masuk kamar seseorang
melalui lobang kisi-kisi di atas pintu, guna mengambil tas berisikan uang yang
terdapat disitu. Kalu ia menolak ia akan disiksa dan barangkali dibunuh. darso
tidak melihat jalan lain daripada menuruti perintahnya.
• Eko
mencuri karena dia tidak bisa mengendalikan nafsunya.
Eko juga
mencuri uang satu juta rupiah yang oleh pemiliknya disimpan dalam sebuah tas.
Disaat tidak ada orang yang melihat, ia mengambil tas itu dan langsung kabur.
si Eko sudah lama mencita-citakan akan mempunyai televisi berwarna. Eko berasal
dari keluarga pencuri profesional. Ayahnya mencari nafkah dengan mencuri.
Demikian juga kakak-kakaknya. Sedari kecil kecil ia sudah diajak oleh
saudaranya untuk ikut serta dalam kegiatan jahat mereka. Mencuri bagi dia
menjadi hal yang seba biasa, hati nuraninya juga tidak menegur lagi. Ia hampir
tidak bisa membayangkan cara hidup lain.
Tanggung Jawab Kolektif
Disamping
tanggung jawab personal, kita kenal juga yang disebut dengan tanggung jawab
kolektif atau tanggung jawab kelompok. Tanggungjawab kolektif bukan
tanggungjawab struktural (seperti tanggungjawab kelompok mafia atau perusahaan)
tetapi bahwa orang A, B, C, D, dan seterusnya, secara pribadi tidak
bertanggungjawab, tetapi semuanya bertanggungjawab sebagai kelompok. Paham
tentang tanggung jawab kolektif secara moral sulit untuk dimengerti, karena
sulit untuk mengakui suatu kesalahan yang tidak secara langsung kita lakukan.
QS. Al-Kahf:29
“katakanlah:” kebenaran datang dari Tuhanmu. Siapa
yang mau, percayalah ia, siapa yang mau janganlah ia percaya.”
QS. Fussilat:40
“buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia
melihat apa yang kamu perbuat.”
Sementara itu menurut kaum Jabariyah berpendapat
sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak
dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
Jadi nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa.
Dalam istilah Inggris paham ini disebut fatalis atau presdetination.
Ayat-ayat yang digunakan kaum Jabariyah yaitu,
QS. Al-Imran:164
“mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekiranya
Allah tidak menghendaki”
QS. Al-Saffat:96
“Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”
Dilihat dari sifatnya kebebasan itu dapat dibagi
menjadi tiga yaitu,
Pertama, kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam
menggerakan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Dan jika dijumpai
adanya batas-batas jangkauan yang dapat dilakukan oleh anggota badan kita, hal
itu tidak mengurangi kebebasan melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu. Manusia
misalnya berjenis kelamin dan berkumis, tetapi tidak dapat terbang, semua itu
tidak disebut melanggar kebebasan jasmaniah kita, karena kemampuan terbang
berada diluar kapasitas kodrati yang dimiliki manusia. Yang dapat dikatakan
melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seseorang
atau lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.
Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu
kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh
jangkauan kemungkinan untuk berfikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja
dan dapat menghendaki apa saja. Kebebasan kehendak berbeda dengan kebebasan
jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat dibatasi secara langsung dari luar.
Orang tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya
terkurung.
Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti
tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, dan lain desakan yang tidak sampai
berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban,
yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk
bertindak.
2.
Tanggung Jawab
Tanggung jawab secara sempit yaitu, suatu usaha
seseorang yang diamanahkan harus dilakukan. Istilah dalam Islam tanggung jawab
merupakan amanah. Secara luas tanggung jawab diartikan sebagai usaha manusia
untuk melakukan amanah secara cermat, teliti, memikirkan akibat baik dan
buruknya, untung rugi dan segala hal yang berhubungan dengan perbuatan tersebut
secara transparan menyebabkan orang percaya dan yakin, sehingga perbuatan
tersebut mendapat imbalan baik maupun pujian dari orang lain.
Tanggung jawab dapat diartikan sebagai konsekensi
atas apa yang telah dilakukan walau apapun resikonya. Berdasarkan GBHN tahun
1998, tanggung jawab pendidikan oleh kedua orang tua terhadap anak antara lain
sebagai berikut,
a. Memelihara dan membesarkannya. Tanggung jawab ini
merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukan makan,
minum dan perawatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan.
b. Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara
jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya
lingkungan yang dapat membahayakan dirinya.
c. Mendidik dengan berbagai pengetahuan dan
keterampilan yang berguna bagi hidupnya, sehingga apabila ia telah dewasa ia
mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain ( hablum minannas ) serta
melaksanakan kekhalifahannya.
d. Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan
memberikan pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Allah swt sebagai tujuan
akhir hidup manusia. Tanggung jawab ini dikategorikan juga sebagai tanggung
jawab kepada Allah.
Tanggung jawab mendidik dan membina anak secara
terus menerus perlu dikembangkan kepada setiap orang tua. Mereka juga perlu
dibekali teori-teori modern sesuai dengan perkembangan zaman. Apabila tanggung
jawab ini dilakukan oleh setiap orang tua, maka generasi yang akan mendatang
telah mempunyai kekuatan mental untuk menghadapi perubahan dalam masyarakat.
3. Hati nurani
Hati dalam bahasa Arab disebut dengan qolb, yang
berarti “sesuatu yang berputar atau berbalik.”
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana
manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini
selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Menurut Webster
Intuisi adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung atau
wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dahulu. Atas
dasar inilah muncul aliran atau paham intuisisme, yaitu paham yang mengatakan
bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati,
sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata
hati atau hati nurani.
Karena sifatnya yang demikian, maka hati nurani
harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan dalam
diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati
nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakekatnya adalah kebebasan
yang merugikan secara moral.
Dari pemahaman kebebasan yang demikian itu, maka
timbullah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati
nurani dan moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Disinilah letak hubungan
antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.
B.
Hubungan kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani
1. Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa
suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau
perbuatan yang dapat bernilai akhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas
kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan
tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru
bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak
yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatan yang
berakhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Di
sinilah letak hubungan antara kebebasan dan perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan
atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang
dapat dimintakan pertanggungjawabannya dari orang yang melakukannya. Di sinilah
letak hubungan antara tanggung jawab dan perbuatan akhlak.
Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus muncul
dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikian penting.
Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab
dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan
dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Di sinilah letak hubungan fungsional
antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam
membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai
kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.
2. Tanggung jawab berkaitan dengan “penyebab”. Yang
bertanggung jawab hanya yang menyebabkan atau yang melakukan tindakan. Tidak
ada tanggungjawab tanpa kebebasan dan sebaliknya. Bertanggung jawab berarti
dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang
yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan
bukan saja ia bisa menjawab tetapi juga harus menjawab.
Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta
penjelasan tentang tingkah laku atau perbuatannya. Dalam tanggung jawab
terkandung pengertian penyebab. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang
disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab suatu akibat maka dia
tidak harus bertanggung jawab juga. Tanggung jawab bisa berarti langsung atau
tidak langsung.
Kebebasan mengandaikan tanggung jawab. Tanpa
tanggung jawab,kebebasan menjadi lepas kendali.Dimana kebebasan dilahirkan
tanggung jawab di tuntut.
Kebebasan membuat orang bertanggung jawab terhadap
tindakan sejauh tindakan itu dikehendaki,bahwa walaupun kesalahan dan tanggung
jawab dari sutu tindkan dapat berkurang atau kadang-kadang alah ditiadakan
karena ketidaktahuan,kelalaian,paksaan dengan kekerasan,ketakuatan,kelekatan
yang tidak teratur,atau kebiasaan.
Maka kesimpulanya adalah orang yang dapat dimintai
tanggung jawab adalah orang yang memiliki kebebasan.
Contoh Hubungan Kebebasan dan Tanggung Jawab
Misalkan saya seorang anak perantau, saya memiliki
kebebasan untuk melakukan sesuatu yang jauh dari orang tua. Tanpa orang tua
mengontrol kita secara langsung, kebanyakan hanya melalui telepon seluler.Kita
bebas jalan-jalan kemana kita pergi dan kapan saja tanpa ada yang melarang dan
bebas melakukan apa saja.
Tetapi , saya sebagai mahasiswa kewajiban mahasiswa
adalah belajar dan melesaikan sekolah maka saya di berikan kepercayaan dari
orang tua dapat melakukan itu. Hanya itu harapan orang tua, saya memiliki
Tanggung Jawab yang besar yaitu bagaimana cara saya selesai ? Dibalik saya
memiliki kebebasan saya mempunyai tanggung jawab dengan membawa hasil dan
memberi orang tua senang. Orang tua telah susah payah membiayai kita dalam
sekolah , mendukung dan menopang kita. Semua keputusan ada di kita dan kita
yang jalani dengan rajin kuliah,memiliki nilai yang memuaskan dan rajin
mengatur waktu jangan sering jalan-jalan.
Jadi hubungan kebebasan dan Tanggung Jawab dalam
pengalaman saya, saya bebas melakukan apa saja sesuka hati, tapi harus mempunya
target agar bisa selesaikan tugas kita. Jangan mengecewakan orang tua.Harapan
orang tua adalah anaknya sukses .
2.5 nilai dan norma
2.5.1
Penjelasan Nilai Sosial
Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri
manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau
tidak indah, dan benar atau salah.
Pengertian
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh
masyarakat.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau
buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila
antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata
nilai.
Ciri
Ciri nilai sosial di antaranya sebagai berikut.
• Merupakan
konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat.
• Disebarkan
di antara warga masyarakat (bukan bawaan lahir).
• Terbentuk
melalui sosialisasi (proses belajar)
• Merupakan
bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia.
• Bervariasi
antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain.
• Dapat
memengaruhi pengembangan diri sosial
• Memiliki
pengaruh yang berbeda antarwarga masyarakat.
• Cenderung
berkaitan satu sama lain dan membentuk sistem nilai.
Klasifikasi
Berdasarkan ciri-cirinya, nilai sosial dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu nilai dominan dan nilai mendarah daging (internalized
value).
Nilai dominan
Nilai dominan adalah nilai yang dianggap lebih
penting daripada nilai lainnya. Ukuran dominan tidaknya suatu nilai didasarkan
pada hal-hal berikut.
• Banyak
orang yang menganut nilai tersebut. Contoh, sebagian besar anggota masyarakat
menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di segala bidang, seperti
politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
• Berapa
lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat.
• Tinggi
rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut. Contoh, orang
Indonesia pada umumnya berusaha pulang kampung (mudik) di hari-hari besar
keagamaan, seperti Lebaran atau Natal.
• Prestise
atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut. Contoh, memiliki
mobil dengan merek terkenal dapat memberikan kebanggaan atau prestise
tersendiri.
Nilai mendarah daging (internalized value)
Nilai mendarah daging adalah nilai yang telah
menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya kadang
tidak melalui proses berpikir atau pertimbangan lagi (bawah sadar). Biasanya
nilai ini telah tersosialisasi sejak seseorang masih kecil. Umumnya bila nilai
ini tidak dilakukan, ia akan merasa malu, bahkan merasa sangat bersalah.
Contoh, seorang kepala keluarga yang belum mampu memberi nafkah kepada
keluarganya akan merasa sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab.
Demikian pula, guru yang melihat siswanya gagal dalam ujian akan merasa gagal
dalam mendidik anak tersebut.
Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan,
alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai
mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang dalam
masyarakat. Menurut Notonegoro,nilai sosial terbagi 3, yaitu:
1. Nilai
material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi fisik/jasmani seseorang.
2. Nilai
vital, yaitu segala sesuatu yang mendukung aktivitas seseorang.
3. Nilai
kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jiwa/psikis seseorang.
Pengertian Nilai Menurut para Ahli
Kimball Young
Mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan
sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat.
A.W.Green
Nilai adalah kesadaran yang secara relatif
berlangsung disertai emosi terhadap objek.
Woods
Mengemukakan bahwa nilai merupakan petunjuk umum
yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam
kehidupan sehari-hari
M.Z.Lawang
Menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang
diinginkan,yang pantas,berharga,dan dapat memengaruhi perilaku sosial dari
orang yang bernilai tersebut.
Hendropuspito
Menyatakan nilai adalah segala sesuatu yang dihargai
masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan
manusia.
Karel J. Veeger
Menyatakan sosiologi memandang nilai-nilai sebagai
pengertian-pengertian (sesuatu di dalam kepala orang) tentang baik tidaknya
perbuatan-perbuatan. Dengan kata lain, nilai adalah hasil penilaian atau
pertimbangan moral.
Satu bagian penting dari kebudayaan atau suatu
masyarakat adalah nilai sosial. Suatu tindakan dianggap sah, dalam arti secara
moral diterima, kalau tindakan tersebut harmonis dengan nilai-nilai yang
disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di mana tindakan tersebut
dilakukan. Dalam sebuah masyarakat yang
menjunjung tinggi kasalehan beribadah, maka apabila ada orang yang malas
beribadah tentu akan menjadi bahan pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan,
atau bahkan makian. Sebaliknya, kepada
orang-orang yang rajin beribadah, dermawan, dan seterusnya, akan dinilai
sebagai orang yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan diteladani.
Apakah yang dimaksud dengan nilai sosial?
Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono
Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di
dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk. Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai
apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai
merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak
pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Sesuatu itu dapat
berupa benda, orang, tindakan, pengalaman, dan seterusnya.
Macam-macam Nilai Sosial
Prof. Notonegoro membedakan nilai menjadi tiga
macam, yaitu: (1) Nilai material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai
segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia, (2) Nilai vital, yakni
meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi
manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas, dan (3) Nilai kerohanian, yakni
meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia: nilai kebenaran, yakni yang
bersumber pada akal manusia (cipta), nilai keindahan, yakni yang bersumber pada
unsur perasaan (estetika), nilai moral, yakni yang bersumber pada unsur
kehendak (karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang
bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan.
Nilai
individual – nilai sosial
Seorang individu mungkin memiliki nilai-nilai yang
berbeda, bahkan bertentangan dengan individu-individu lain dalam masyarakatnya.
Nilai yang dianut oleh seorang individu dan berbeda dengan nilai yang dianut
oleh sebagaian besar anggota masyarakat dapat disebut sebagai nilai individual.
Sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat
disebut nilai sosial.
Ciri-ciri nilai sosial:
• Nilai
sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui
interaksi sosial,
• Nilai
sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi,
dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi
tindakan-tindakan penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa
disadari lagi (enkulturasi),
• Nilai
sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,
• Nilai
sosial bersifat relative,
• Nilai
sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,
• Sistem
nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,
• Setiap
nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,
• Nilai
sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan
• Nilai
sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.
Fungsi nilai sosial.
Nilai Sosial dapat berfungsi:
• Sebagai
faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan
cita-cita atau harapan,
• Sebagai
petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan,
sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam suatu unit
sosial,
• Sebagai
benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.
Kerangka Nilai Sosial
Antara masyarakat yang satu dengan yang lain
dimungkinkan memiliki nilai yang sama atau pun berbeda. Cobalah ingat pepatah
lama dalam Bahasa Indonesia: “Lain
ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, atau pepatah dalam bahasa
Jawa: “desa mawa cara, negara mawa
tata”. Pepatah-pepatah ini menunjukkan kepada kita tentang adanya perbedaan
nilai di antara masyarakat atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh sekelompok
orang atau suatu masyarakat tidaklah mudah, karena nilai merupakan konsep
asbtrak yang hidup di alam pikiran para warga masyarakat atau kelompok. Namun
lima kerangka nilai dari Cluckhohn yang di Indonesia banyak dipublikasikan oleh
antropolog Koentjaraningrat berikut ini dapat dijadikan acuan untuk mengenali
nilai macam apa yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat.
Lima kerangka nilai yang dimaksud adalah:
• Tanggapan
mengenai hakekat hidup (MH), variasinya: ada individu, kelompok atau masyarakat
yang memiliki pandangan bahwa “hidup itu baik” atau “hidup itu buruk”,
• Tanggapan
mengenai hakikat karya (MK), variasinya: ada orang yang menganggap karya itu
sebagai status, tetapi ada juga yang menganggap karya itu sebagai fungsi,
• Tanggapan
mengenai hakikat waktu(MW), variasinya: ada kelompok yang berorientasi ke masa
lalu, sekarang atau masa depan,
• Tanggapan
mengenai hakikat alam (MA), Variainya:
masyarakat Industri memiliki pandangan bahwa manusia itu berada di atas
alam, sedangkan masyarakat agraris memiliki pandangan bahwa manusia merupakan
bagian dari alam. Dengan pandangannya
terhadap alam tersebut, masyarakat industri memiliki pandangan bahwa manusia
harus menguasai alam untuk kepentingan hidupnya, sedangkan masyarakat agraris
berupaya untuk selalu menyerasikan kehidupannya dengan alam,
Tanggapan mengenai hakikat manusia (MM), variasi: masyarakat
tradisional atau feodal memandang orang lain secara vertikal, sehingga
dalam masyarakat tradisional terdapat perbedaan
harga diri (prestige) yang tajam antara para pemimpin (bangsawan) dengan
rakyat jelata. Sedangkan masyarakat
industrial memandang manusia yang satu dengan yang lain secara horizontal
(sejajar).
2.5.2Penjelasan Norma Sosial
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi
patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu.
Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial
masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut
perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya.
Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok
agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya,
norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat
berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang
melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Misalnya, bagi siswa yang
terlambat dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat
ulangan tidak boleh meneruskan ulangan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk
sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan
norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat
berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau
wajar.
Tingkatan norma sosial
Cara (usage)
Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang
dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus.
Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak
mengeluarkan suara seperti hewan.
Kebiasaan (folkways)
Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang
dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan
jelas dan dianggap baik dan benar.
Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang
berprestasi dalam suatu kegiatan atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada
waktu pesta.
Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang
mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara
sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap
anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang
suatu perbuatan.
Contoh: Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau
menikahi saudara kandung.
Adat istiadat (custom)
Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang
paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat
terhadap masyarakat yang memilikinya.
Apa hubungannya antara nilai dengan norma? Norma
dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan
mempertahankan nilai sosial. Pelanggaran terhadap norma akan mendapatkan sanksi
dari masyarakat.
Berbagai macam norma dalam masyarakat
Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuatan
mengikatnya terdapat:
1. Tata
cara atau usage. Tata cara (usage); merupakan norma dengan sanksi yang sangat
ringat terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika
makan, cara memegang gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya
dinyatakan tidak sopan.
2. Kebiasaan
(folkways). Kebiasaan (folkways); merupakan cara-cara bertindak yang digemari
oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Misalnya
mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda
penghormatan kepada orang yang lebih tua, dst.
3. Tata
kelakuan (mores). Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat,
ajaran agama atau ideology yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut
jahat. Contoh: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras, penggunaan
napza, mencuri, dst.
4. Adat
(customs). Adat merupakan norma yang
tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, apabila adat menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.
5. Hukum
(law). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis, ketentuan sanksi terhadap
siapa saja yang melanggar dirumuskan secara tegas. Berbeda dengan norma-norma
yang lain, pelaksanaan norma hukum didukung oleh adanya aparat, sehingga
memungkinkan pelaksanaan yang tegas.
Mode atau fashion.
Di samping lima macam norma yang telah disebutkan
itu, dalam masyarakat masih terdapat satu jenis lagi yang mengatur tentang
tindakan-tindakan yang berkaitan dengan estetika atau keindahan, seperti
pakaian, musik, arsitektur rumah, interior mobil, dan sebagainya. Norma jenis
ini disebut mode atau fashion. Fashion
dapat berada pada tingkat usage, folkways, mores, custom, bahkan law.
Hubungan
antara nilai dengan norma sosial
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai
senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan
mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam
masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan telivisi
swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu
mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan
yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan
artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan
batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan
semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal,
menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model rambut
panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin
sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang
sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern)
adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan. Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh
terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
PENGERTIAN
NORMA SOSIAL SECARA UMUM
PENGERTIAN
NORMA SOSIAL
Secara umum, norma merupakan ukuran yang digunakan
oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan merupakan tindakan dan wajar dan
dapat diterima ataukan merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai
dengan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Norma juga merupakan aturan-aturan dengan
sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong, bahkan menekan anggota
masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.
Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma
sosial diciptakan untuk mempertahankan nilai sosial.
JENIS – JENIS NORMA SOSIAL
Dilihat dari sanksinya terdapat beberapa jenis norma
yaitu :
1. Tata
Cara (Usage)
Tata cara merupakan norma yang menunjuk kepada satu
bentuk perbuatan dengan sanksi yang sangat ringan terhadap pelanggarnya,
misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan.
Suatu pelanggaran atau penyimpangan terhadapnya
tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar celaan atau
dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.
Beberapa contoh pelanggaran dan sanksi norma sosial
berdasarkan tata cara: makan mendecak
(mengecap) ketika makan tentu akan dinyatakan tidak sopan oleh orang lain, atau
bersendawa ketika makan juga dapat dianggap tidak sopan.
1. Kebiasaan
(Folkways)
Kebiasaan atau disebut folkways merupakan cara-cara
bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan secara
berulang-ulang.
Folkways memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar
daripada usage, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, atau membukukkan
badan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua, serta membuang sampah
pada tempatnya.
Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, maka dianggap
penyimpangan terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat dan orang akan
menyalahkannya. Sanksinya dapat berupa celaan, cemoohan, teguran, sindiran,
atau bahkan digunjingkan masyrakat (gosip).
1. Tata
Kelakuan (Mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada
filsafat, ajaran agama, atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya
disebut penjahat.
Contoh mores adalah : larangan berzinah, berjudi,
minum minuman keras, penggunaan narkotika dan zat-zat adiktif, serta mencuri.
Fungsi mores antara lain :
-Memberikan batas-batas tingkah laku individu.
-Mengidentifikasi individu dengan kelompoknya.
-Menjaga solidaritas antara anggota-anggota masyarakat
sehingga mengukuhkan ikatan dan mendorong tercapainya integrasi sosial yang
kuat.
1. Adat
(Customs)
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun
sangat kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat
akan menderita karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung
dikenakan. Misalnya, pada masyarakat Lampung yang melarang terjadinya
perceraian, apabila terjadi suatu perceraian, maka tidak hanya yang
bersangkutan yang mendapat sanksi, tetapi seluruh keluarganya pun ikut
tercemar.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa
pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi
persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk media
rehabilitasi diri.
1. Hukum
(Laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal dan
berupa aturan tertulis. Sanksi terhadap pelanggar sifatnya paling tegas
dibanding dengan norma-norma lainnya.
Hukum adalah suatu rangkaian aturan yang ditujukan
kepada anggota masyarakat yang berisi ketentuan-ketentuan, perintah, kewajibam,
ataupun larangan, agar dalam masyarakat tercipta suatu ketertiban dan keadilan.
Ketentuan-ketentuan dalam norma hukum lazimnya dikodifikasikan dalam bentuk
kitab undang-undang atau konvensi-konvensi.
Sanksi yang diberikan dapat berupa denda atau
hukuman fisik.
Dilihat dari sumbernya norma dibedakan menjadi :
1. Norma
agama
Norma agama adalah peraturan sosial yang sifatnya
mutlak sebagaimana penafsirannya dan tidak dapat ditawar-tawar atau diubah
ukurannya karena berasal dari Tuhan.
Biasanya berasal dari ajaran agama dan
kepercayaan-kepeercayaan lainnya.
Pelanggaran terhadap norma agama disebut dosa.
Contoh Norma Agama : sembhayang kepada Tuhan, tidak
boleh mencuri, tidak boleh berbohong, tidak boleh membunuh, dan sebagainya.
2. Norma
kesopanan atau etika
Norma kesopanan adalah peraturan sosial yang
mengarah pada hal-hal yang berkenaan dengan bagaimana seseorang harus
bertingkah laku yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Pelanggaran terhadap
norma ini akan mendapatkan celaan, kritik, dan lain-lain tergantung pada
tingkat pelanggaran.
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang
dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan,
atau waktu.
Contoh Norma kesopanan :
1. Menghormati orang yang lebih tua
2. Tidak meludah sembarangan
3. Tidak berkata kotor, kasar, dan sombong
3. Norma
kesusilaan
Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang
berasal dari hati nurani yang menghasilkan akhlak, sehingga seseorang dapat
membedakan apa yang dianggap baik dan apa pula yang dianggap buruk.
Pelanggaran terhadap norma ini berakibat sanksi
pengucilan secara fisik (dipenjara, diusir) ataupun batin (dijauhi).
Contoh: Orang yang berhubungan intim di tempat umum
akan dicap tidak susila,melecehkan wanita atau laki-laki di depan orang.
4. Norma
hukum
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh
lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat
melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan
pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi
denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Ketentuan-ketentuan bersumber pada kitab
undang-undang suatu negara.
FUNGSI NORMA SOSIAL
1. Sebagai
pedoman atau patokan perilaku dalam masyarakat.
2. Merupakan
wujud konkret dari nilai-nilai yang ada di masyarakat.
3. Suatu
standar atau skala dari berbagai kategori tingkah laku suatu masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Habiysanji. (2012). Humaniora. Diakses 8 Oktober 2015, dari
http://habiysanji.blogspot.co.id/2012/06/humaniora.html
Fauzanal Rasyid. (2011). Perlunya Etika Bagi Kehidupan Kita.
Diakses 8 Oktober 2015, dari
:
http://www.fauzanalrasyid.com/2011/04/perlunya-etika-bagi-kehidupan-kita.html
Dewi. (2011). Ilmu Humaniora. Diakses 8 Oktober 2015, dari
http://dewi-w-n-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-104177-Analisa%20Subjek-Ilmu%20Humaniora%20.html
Kaskus. (2010). Shame and Guilt Culture. Diakses 8 Oktober
2015, dari
http://www.kaskus.co.id/thread/5208751bfeca17c26e000006/shame-and-guilt-culture
Ismi Rajiani. (2012). Shame Culture Budaya Malu dan Guilt
Culture Budaya Bersalah. Diakses 8
Oktober 2015, dari
https://ismirajiani.wordpress.com/2012/10/25/shame-culture-budaya-malu-guilt-culture-budaya-bersalah-or-no-culture/
Teguh. (2010). Kebebasan dan Tanggung jawab. Diakses 8
Oktober 2015, dari
http://teguh-s--fpsi10.web.unair.ac.id/artikel_detail-71045-Umum-Kebebasan%20dan%20Tanggung%20Jawab.html
Bonhoefer. (2014). Kebebasan dan Tanggung jawab. Diakses 8
Oktober 2015, dari
http://bonhoefferdietrich.blogspot.co.id/2014/01/kebebasan.html
Pamungkas Ashadi. (2014). Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati
Nurani. Diakses 8 Oktober 2015,
dari
https://pamungkasashadi.wordpress.com/2014/12/03/kebebasan-tanggungjawab-dan-hati-nurani/
Bryan Tobing. (2010). Nilai dan Norma Sosial. Diakses 8
Oktober 2015, dari
http://bryantobing01.blog.com/nilai-dan-norma-sosial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar