Senin, 19 Oktober 2015

peranan etika dalam dunia modern



Peranan Etika dalam Dunia Modern
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, juga tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, serta nilai yang dianggap benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.
Etika tidak dapat dipisahkan dengan etiket. Kedua  hal ini sangatlah berhubungan. Perbedaannya, etika berarti moral, sedangkan etiket berarti sopan santun. Cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia, cara tersebut harus tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam kalangan tertentu. Misalnya; jika saya menyerahkan amplop kepada atasan harus menggunakan tangan kanan. Dianggap sebuah pelanggaran jika menyerahkan dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi norma terhadap perbuatan itu sendiri. Misal; A menyerahkan amplop kepada B dengan cara yang sangat sopan, namun B adalah seorang hakim, dan A adalah orang yang mempunyai perkara dengan hukum, artinya A menyuap B agar membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan A bisa dikatakan melanggar etika.

Perbedaan juga terdapat persamaan diantara keduanya yaitu; 1) sama-sama menyangkut perilaku manusia; 2) etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif. Artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan.

Dalam masyarakat tradisional, nilai dan norma tidak pernah dipersoalkan, secara otomatis masyarakat menerima nilai dan norma yang telah berlaku. Namun, setiap saat nilai dan norma tersebut dapat berkembang kearah yang baru, adanya mobilitas lateral yang dialami oleh masyarakat, juga karena arus globalisasi yang semakin tak bisa terelakkan. Banyak nilai dan norma etis berasal dari agama, tidak bisa diragukan bahwa agama merupakan sumber nilai dan norma sangat penting.

Kebudayaan pun merupakan sumber lain. Walaupun kebudayaan sering kali dilepaskan dari agama. Selain kebudayaan, kerangka hidup bersama/nasionalisme bisa menjadi sumber nilai dan norma kebudayaan.

Memandang situasi etis dalam dunia modern seperti saat ini, banyak sekali perilaku yang seharusnya masuk pada ruang lingkup moral, mereka banyak berargumentasi mengenai hal-hal yang dianggap melanggar etika (moral). Kita lihat dari beberapa contoh yang saat ini banyak terjadi. Misalnya,  seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khusunya ilmu-ilmu biomedis. Terdapat berbagai penemuan-penemuan yang bisa jadi dianggap sangat mengagumkan, namun disisi lain bisa dikatakan sangat bertentangan atau melanggar dengan etika (moral) yang telah dijadikan patokan juga panutan oleh masyarakat luas.

Apa kita boleh memanipulasi kehidupan manusia, seperti bayi tabung yang spermanya diambil dari orang lain yang tidak ada ikatan pernikahan yang sah, kemudian  bereksperimen dengan embrio, rekayasa genetik. Segala permasalahan tentang penciptaan manusia super sangatlah mengandung unsur etis (moral) dalam kehidupan manusia. Juga masalah eutanasia; tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang maupun hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.  Menurut perspektif saya, semua hal tersebut melanggar nilai-nilai dan norma yang telah diajarkan kepada kita sebagai manusia.

Agama mengajarkan kita bagaimana berbuat baik namun dengan cara yang benar, benar menurut nilai dan norma agama. Bagaimana sikap kita seharusnya menghadapi perkembangan yang seperti ini? Situasi moral dunia modern ini mengajak kita untuk mendalami studi etika, hal ini bisa dijadikan salah satu cara yang memberi prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang.

Menempuh cara hidup yang etis berarti mempertanggungjawabkan perilaku kita berdasarkan alasan-alasan, artinya berdasarkan rasio. Melalui jalan rasional perlu kita bersama-sama diskusi mencari kesepakatan dibidang moral
A. Manusia
Manusia itu hakekatnya adalah makhluk sosial, mempunyai keinginan untuk hidup bermasyarakat dengan manusia-manusia lain. Artinya setiap manusia mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan satu sama lain sesamanya.
Kumpulan atau persatuan manusia-manusia yang saling mengadakan hubungan satu sama lain dinamakan “masyarakat”
Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau pengampunya. Sedangkan penyelesaian hutang piutang orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan.
Sebagai negara hukum, Negara Indonesia mengakui setiap orang sebagai manusia terhadap undang-undang artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang.

B. Etika
Etika (Etimologik), berasala dari kata Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang baru, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3) nilai mengenai dasar dan salah yang di anut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut: Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, etika mempunyai arti lagi ilmu tentang baik dan buruk.
Objek etika (menurut Franz Von Magnis) adalah pernyataan moral. Apabila diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya dua macam: pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur pribadi manusia seperti maksud dan watak.
C. Moral
Moral berasal dari kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti adat atau cara hidup.
Moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral. Hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya,. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
1. Moral dan agama
Tidak bisa disangkal, agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Setiap agama mengandung suatu ajaran moral. Ajaran moral yang terpendam dalam suatu agama dapat dipelajari secara kritis, metodis, dan sistematis dengan tetap tinggal dalam konteks agama itu.
Ajaran moral yang terkandung dalam suatu agama meliputi dua macam peraturan. Di satu pihak ada macam-macam peraturan yang kadang-kadang agak mendetail tentang makanan yang haram, puasa, ibadat, dan sebagainya. Peraturan seperti itu sering berbeda dengan agama yang berlain-lainan. Di lain pihak ada peraturan etis lebih umum yang melampaui kepentingan agama tertentu saja, seperti: jangan membunuh, jangan berdusta, jangan berzina, jangan mencuri.
Bila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada umumnya ia berkhotbah, artinya ia berusaha memberikan motivasi serta inspirasi, supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman.
2. Moral dan hukum.
Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang hubungan ini dari segi hukum. Hukum membutuhkan moral. Dalam kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah Quid leges sine moribus?” Apa artinya undang-undang jika tidak disertai dengan moralitas?”Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum selalu diatur dengan norma moral. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dan moralitas.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
D. Agama
Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio [dari religere, Latin] artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau memperoleh keselamatan [dalam arti seluas-luasnya] secara pribadi dan masyarakat.

Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya. Artinya, manusia membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan budaya serta peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan lain-lain] merupakan unsur-unsur kebudayaan. Dengan demikian, jika manusia mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan [bahkan ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan perubahan sosio-kultural masyarakat.

Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan TUHAN Allah kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar; ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk menyembah TUHAN Allah yang telah mengasihinya. Dan masih banyak lagi pandangan tentang agama, misalnya,
1. Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa, Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut
2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya
3. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum TUHAN tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh TUHAN sebagai pembawa agama.
-->
Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan TUHAN [kepada manusia] untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat
Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi [yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus [secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi.
Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan TUHAN Allah. Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal TUHAN Allah, maka Ia menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-Nya. Jadi, agama datang dari manusia, bukan TUHAN Allah. Makna yang khusus inilah yang merupakan pemahaman iman Kristen mengenai Agama.

E. Hukum
Sebagaimana didefinisikan dalam oxford english dictionary, hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subjeknya.
Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari masyarakat) pada dasarnya berlaku untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta ketentraman dan ketertiban. Pada dasarnya hukum bertujuan untuk mencapai kepastian hukum, yaitu untuk mengayomi masyarakat secara adil dan damai sehingga mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat.
Istilah –istilah dan pengertian dalam ilmu hukum:
1. Subjek hukum
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan Bahasa Belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rectsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
Subject hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena subject hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum.
2. Objek hukum
Selain subjek hukum, dikenal objek hukum sebagai lawan dari subjek hukum. Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Objek hukum biasanya disebut juga dengan benda atau segala sesuatu yang dibendakan. Pengertian benda secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau menjadi objek hak milik (Pasal 499 BW).
Oleh karena itu yang dimaksud dengan benda menurut undang-undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimiliki orang. Maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah termasuk pengertian benda (menurut BW) seperti bulan, matahari, bintang, laut, dan lain-lain.
3. Lembaga hukum
Lembaga hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan atau bertujuan mencapai suatu objek yang sama. Oleh karena itu ada humpinan peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai perkawinan “ lembaga hukum perkawinan” himpunan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perceraian dinamakan “lembaga hukum perceraian”, demikian seterusnya. Dengan demikian dalam hukum positif terdapat banyak sekali lembaga-lembaga hukum itu seperti lembaga hukum jual beli, tukar menukar, dan sebagainya, yang tidak hanya diatur dalam hukum perdata barat, melainkan terdapat dalam hukum adat maupun hukum islam.
4. Asas hukum
Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan diperlukan asas hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap perilaku manusia di dalam masyarakat. Asas hukum merupakan pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang kongkrit ( hukum positif ).
Asas-asas hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. Dapat dibedakan ke dalam:
a. Asas hukum yang menentukan politik hukum.
b. Asas hukum yang menyangkut proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
c. Asas hukum yang menyangkut aspek-aspek
formal/struktural/organisatoris/dari tata hukum nasional.

d. Asas hukum yang menentukan ciri dan jiwa tata hukum nasional.
e. Asas hukum yang menyangkut substansi peraturan perundang-undangan.
Beberapa macam asas hukum nasional dijelaskan sebagai berikut: asas manfaat, asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas demokrasi, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, asas kesadaran hukum, asas kepercayaan pada diri sendiri.
.    PENGERTIAN HATI NURANI
        Hati nurani dalam bahasa arab di sebut dlamir atau wijdan sedang dalam bahasa inggris di sebut dengan conscience. kata consciece diterjemah balik maka artinya menjadi suara hati, kata hati atau hati nurani. Berdekatan dengan kata conscience, ada kata conscious. Conscious artinya sadar, berkesadaran, atau kesadaran. Disamping kedua kata ini, ada satu lagi yang berdekatan maknanya yaitu intuition, intuition artinya gerak hati, lintasan hati, gerak batin.
Consciece sama dengan Conscience is an ability or a faculty that distinguishes whether one’s actions are right or wrong. It leads to feelings of remorse when one does. Hati nurani adalah kemampuan yang membedakan apakah salah satu dari tindakan apakah benar atau salah. The moral sense of right and wrong, chiefly as it affects one’s own behaviour; Consciousness; thinking; awareness, especially self-awareness. Rasa moral tentang yang benar dan yang salah, terutama karena akan mempengaruhi tingkah laku sendiri; Kesadaran; berpikir; kesadaran, terutama kesadaran diri. Kesadaran juga berarti peran kognitif diri yang memperjelas secara sadar di mana diri kita saat ini dan bagaimana situasi lingkungan kita. Kajian-kajian yang mendalam tentang hal ini dapat kita telusuri lebih jauh terutama di dalam sains psikologi.
Maka Hati nurani adalah suatu kekuatan dalam hati seseorang yang selalu memberikan penilaian benar dan salahnya atau baik dan buruknya atau perbuatan yang akan di lakukan. Hati nurani merupakan penerapan kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia dalam situasi konkret. Suara hati menilai suatu tindakan manusia benar atau salah , baik atau buruk. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat keliru. Dalam hati, manusia sebelum bertindak atau melakukan sesuatu , ia sudah mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa ada yang baik dan ada yang buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut, walaupun kadar kesadarannya berbeda – beda.
Pada saat-saat menjelang suatu tindakan etis, pada saat itu kata hati akan mengatakan perbuatan itu baik atau buruk. Jika perbuatan itu baik, kata hati muncul sebagai suara yang menyuruh dan jikaperbuatan itu buruk, kata hati akan muncul sebagai suara yang melarang. Kata hati yang muncul pada saat ini disebut prakata hati. Pada saat suatu tindakan dijalankan, kata hati masih tetap bekerja, yakni menyuruh atau melarang. Sesudah suatu tindakan, maka kata hati muncul sebagai “hakim” yang memberi vonis. Untuk perbuatan yang baik, kata hati akan memuji, sehingga membuat orang merasa bangga dan bahagia. Namun, jika perbuatan itu buruk atau jahat, maka kata hati akan menyalahkan, sehingga, orang merasa gelisahs, malu, putus asa, menyesal.

FUNGSI HATI NURANI
Fungsi hati nurani adalah sebagai pegangan, pedoman atau norma untuk menilai suatu tindakan, apakah tindakan itu baik atau buruk. Hati nurani  berfungsi sebagai pegangan atau peraturan-peraturan konkret di dalam kehidupan sehari-hari dan menyadarkan manusia akan nilai dan harga dirinya. Sikap kita terhadap hati nurani adalah menghormati setiap suara hati yang keluar dari hati nurani kita. Mendengarkan dengan cermat dan teliti setiap bisikan hati nurani. Mempertimbangkan secara masak dan dengan pikiran sehat apa yang dikatakan hati nurani dan melaksanakan apa yang disuruh hati nurani.

B.    HATI NURANI SEBAGAI FENOMENA MORAL
1.    Pendekatan Naratif
    Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan dimensi etis dalam hidup kita. Karena itu pengalaman tentang hati nurani itu merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika. Dalam suatu pendekatan naratif kita mulai dengan memandang tiga contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani yang dipilih dengan cara demikian, sehingga dapat dipakai dalam analisis selanjutnya. Mudah-mudahan contoh-contoh ini sesuai dengan pengalaman pribadi kita tentang hati nurani.

¥    Seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting. Malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu menawarkan sejumlah besar uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga tidak bisa lain daripada penerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini sangat menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidamkan oleh istrinya. Namun demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah “malu” terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu. Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun, kepastian ini tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang luhur ini.

¥    Thomas Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun ia bekerja penuh semangat dalam usaha pengembangan dan pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu, khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee, berjudul A Study of History, kalimat berikut ini: “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang”. Baru pada saat itu ia menyadari, ia sedang memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiannya memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Ia membicarakan kegelisahan batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi finansial, bila ia berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Tentu ia menyadari juga, bila ia keluar, tempatnya akan diisi oleh orang lain yang akan melanjutkan pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya tidak efektif sama sekali. Bagaimanapun, Grissom memutuskan ia tidak bisa bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya di laboratorium Nasional.

¥    Pada awal Bhagavad Gita kita menemukan suatu contoh bagus tentang konflik batin yang berlangsung dalam hati nurani. Dalam sebuah kereta berkuda Arjuna menuju ke tempat pertempuran bersama Khrisna yang bertindak sebagai saisnya. Tapi setibanya di tempat tujuan ia melihat sanak saudara, guru-guru dan sahabat-sahabat di antara tentara yang menjadi lawannya. Melihat keadaan itu, “rasa sedih dan putus asa memenuhi hatinya”. Ia tidak tega berperang melawan kerabat dan orang yang akrab dengannya. “Saya tidak mau membunuh mereka, sekalipun saya sendiri akan dibunuh”. Busur saktinya terjatuh dari tangannya dan ia sendiri rebah dalam kereta, hatinya dilimpahi keputusan dan kesedihan. Usaha Khrisna untuk membesarkan hatinya tidak sedikitpun dapat mengubah sikapnya. “Setelah mereka mati, masakan kita ingin hidup lagi?”. Dan dengan tegas ia putuskan: “Saya tidak akan berperang, Khrisna”.

C.    KESADARAN HATI NURANI
    Apa itu hati nurani? Secara sangat umum dapat dikatakan, hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita, secara langsung, kini, dan di sini. Dengan “kata nurani” kita maksudkan penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan atau memelarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkret. Tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita.
    Dapat dikatakan juga, hati nurani adalah kesadaran moral yang membuat kita menyadari baik atau buruk (secara moral) dalam perilaku kita dan karena itu dapat menyuluhi dan membimbing perbuatan-perbuatan kita di bidang moral. Dengan demikian hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Untuk mengerti hal ini perlu kita bedakan antara pengenalan dan kesadaran. Kita mengenal, bila kita melihat, mendengar atau merasa sesuatu. Tapi pengenalan ini tidak merupakan monopoli manusia. Seekor binatang pun bisa mendengar bunyi atau mencium bau busuk dan karena itu bisa mengenal. Malah ada binatang yang dalam hal pengenalan indrawi lebih unggul daripada manusia. Tapi hanya manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan saja melihat pohon di kejauhan sana, tetapi ia menyadari juga bahwa dialah yang melihatnya.
Di kebun binatang pernah terdengar seorang anak kecil, berumur sekitar empat tahun, bertanya kepada ibunya :”Mami, apakah gajah itu tahu bahwa dia seekor gajah?” tanpa disadarinya, dengan itu ia mengemukakan suatu pertanyaan filosofis yang amat mendalam artinya. Kepada filsuf cilik ini harus dijawab: gajah tidak tahu. Seekor binatang tidak berfikir atau berefleksi tentang dirinya sendiri. Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dalam diri manusia bisa berlangsung semacam “penggandaan”: ia bisa kembali kepada dirinya. Ia bisa mengambil dirinya sendiri sebagai objek pengenalannya. Jadi, penggandaan di sini ialah bahwa dalam proses pengenalan bukan saja manusia berperan sebagai subjek, melainkan juga sebagai objek.
    Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan daripadanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian conscentia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan” yang disebut tadi: bukan saja saya sendiri sebagai subjek yang melihat. Bah, kata conscientia yang sama dalam bahasa latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tetapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan  semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata latin conscientia.
    Fenomena hati nurani sebetulnya terdapat di segala zaman dan dalam semua kebudayaan. Tapi dulu sering kali belum tersedia istilah jelas untuk menunjukkan fenomena itu. Dalam teks-teks kuno seperti Kitab Suci Perjanjian Lama atau Bhagavad Gita tidak ada suatu istilah untuk hati nurani, tapi fenomena yang dimaksud dengannya di situ sudah dikenal, sebagaimana terbukti dalam contoh ketiga yang diberikan di atas. Istilah “hati nurani” itu mempunyai sejarah berbelit-belit yang tidak perlu ditelusuri di sini.”

D.    MACAM-MACAM HATI NURANI
    Dapat dibedakan menjadi dua macam hati nurani yaitu: hati nurani retrospektif dan prospektif.
1.    Hati nurani retrospektif
Apabila seseorang membuat keputusan-keputusan dan melaksanakan putusan tersebut atau bertindak, biasanya orang berpikir ulang atau membuat semacam penilaian terhadap apa yang telah dilakukan tersebut. Apabila seseorang bertindak yang tidak etis dan bertentangan dengan hati nuraninya, sudah tentu setelah bertindak orang tersebut akan menyadari bahwa tindakannya tersebut tidak benar, dan menyesalinya. Jadi dapat dikatakan atau disimpulkan bahwa hati nurani seseorang atau batin seseorang memberikan penilaian-penilaian terhadap perbuatannya sendiri yang telah lamapu. Setelah seseorang bertindak, untuk menilai tindakan tersebut orang menggunakan hati nuraninya.
Hati nurani retrospektif memberi penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik. Contoh pertama pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Bila kata hati menghukum dan menuduh kita, kita merasa gelisah dalam batin atau seperti dikatakan dalam bahasa inggris kita mempunyai a bad conscience. Sebaliknya, bila kita telah bertingkah laku baik, kita mempunyai a bad conscience atau a clear conscience. Misalnya, bila saya tanpa pamrih telah menyelamatkan seorang anak yang terjerumus dalam sungai. Bahkan dengan mengambil risiko untuk kehidupan saya sendiri, saya merasa puas. Bukan saja karena usaha yang penuh risiko itu berhasil, melainkan juga karena telah saya lakukan yang harus saya lakukan. Saya telah memenuhi kewajiban saya. Karena itu hati nurani saya dalam keadaan tenang dan puas, saya mengalami suatu kedamaian batin.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa hati nurani dalam keadaan gelisah merupakan fenomena yang paling mendasar. Itulah menurut mereka hati nurani dalam arti yang sebenarnya. Di sini tampak dengan paling jelas dampak dan tuntutan moralitas atas seseorang. Menurut pendapat filsuf Jerman-Amerika, Hannah Arendt (1906-1975, umpamanya, hati nurani dalam keadaan tenang hanya berarti tiadanya hati nurani yang gelisah maksudnya, hati nurani sebagai instansi yang menilai terutama bertindak negatif: mengecam dan mencela. Hati nurani yang tenang dengan demikian dihasilkan karena dibebaskan dari segala tuduhan. Bisa dipertanyakan apakah konsepsi serupa itu tidak tuduhan. Bisa dipertanyakan apakah konsepsi serupa itu tidak terlalu ekstrem. Memang benar, biasanya hati nurani terutama mencela. Hati nurani dialami  paling jelas, kalau menggerogoti ketenangan jiwa kita. Tapi sulit untuk disangkal bahwa hati nurani juga langsung bisa memuji kita, bila bertingkah laku baik. Karena itu kami tidak begitu yakin bahwa pendapat Hannah Arendt itu benar.

2.    Hati nurani prospektif
Sebelum orang membuat keputusan dan bertindak, biasanya ia juga menilai dan mempertimbangkan terhadap apa yang  akan diputuskan dan dilakukan dengan menggunakan hati nurani atau suara batinnya. Dengan kata lain, batin akan menilai perbuatan-perbuatan seseorang mendatang. Sebelum orang bertindak, batin memberikan pertimbangan-pertimbangan. Inilah yang dimaksud dengan hati nurani prospektif. Pertimbangan itu terwujud dalam bentuk larangan  untuk berbuat jelek, dan anjuran untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, hati nurani prospektif adalah tuntunan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan kondisi-kondisi psikologis dan sesuai kondisi rill di sekitarnya.
Hati nurani prospektif melihat ke depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam arti ini hati nurani prospektif menunjuk kepada hati nurani retospektif yang akan datang, jika perbuatan menjadi kenyataan. Contoh ketiga tentang Arjuna-biarpun istilah ”hati nurani” dalam Bhagavad Gita tidak disebutkan eksplisit-menunjukkan hati nurani prospektif. Sedangkan contoh kedua tentang ahli fisika amerika memberikan semacam campuran antara hati nurani porpektif dan retrospektif. Tadinya Grissom tidak pikirkan bahwa pekerjaannnya sebenarnya imoral, tapi pada ketika ia menjadi sadar ia merasa dihukum oleh hati nuraninya tentang pekerjaannya sampai sekarang dan ia tidak tega melanjutkannya. Pada saat ia menjadi sadar, hati nuraninya menyangkut masa lampau maupun masa depan.

Pembedaan antara hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif ini bisa menampilkan kesan seolah-olah hati nurani hanya menyangkut masa lampau atau masa depan. Padahal, hati nurani dalam arti yang sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan kini dan disini. Hati nurani terutama adalah concience, ”turut mengetahui”, pada ketika perbuatan berlangsung. Dalam perbuatan itu sendiri sipelaku telah mengalami-atas dasar hati nurani-bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik atau buruk. Ketika si hakim menerima uang suap (contoh satu), ia sudah mengalami bahwa perbuatannya tidak terpuji. Tapi kemudian hati nurani tidak diam, tapi sebaliknya justru menuduh dia serta mengganggu ketenangan batinnya. Jadi, keadaan gelisah itu berawal dari perbuatannya dan  ketika Arjuna (contoh ketiga) memutuskan ”saya tidak mau berperang, Khrisna”, maka dalam keputusan itu desakan hati nurani justru mencapai puncaknya, tapi sudah disiapkan sebelumnya sebagai hati nurani porpektif. Dapat disimpulkan bahwa hati nurani terutama berbicara dalam suatu orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan: ke perbuatan yang sudah berlangsung atau ke perbuatan yang akan berlangsung lagi.


E.    SIFAT HATI NURANI
    Hati nurani bersifat personal artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita dan saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya. Sepertii kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama begitu pula tidak ada dua hati nurani yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah banyak pengalaman hidup tentu hati nuraninya bercorak lain ketika masih masa remaja. Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal artinya hati nurani hanya berbicara atas nama saya. Hati nurani hanya memberi penilaiannya tentang perbuatannya sendiri.                                                                                                                                                                                                                                                                                                      
Penelitian Laborarium Nasional Amerika dalam contoh kedua barang kali akan mempertanyakan keterlibatan siapa saja dalam penelitian mengenai persenjataan nuklir, tapi hati nuraninya hanya berbicara tentang dirinya saja. Mustahillah seseorang mengatakan: ”hati nurani saya mengatakan bahwa Anda tidak boleh melakukan itu”. Memang benar, bila kita menilai orang lain atau menjadi penasihat bagi orang lain, mungkin akan kita simak apa yang dikatakan hati nurani kita , seandainya kita sendiri menghadapi keadaan yang sama seperti dihadapi oleh orang itu. Walaupun begitu, hati nurani tidak memberikan penilaiantentang perbuatan orang lain. Kita hanya memperhatikan norma –norma dan cita-cita yang diikuti oleh hati nurani kita.
Tapi integritas pribadi kita akan merasa diperkosa, bila orang lain melakukan apa yang menurut kita tidak boleh.tidak jarang dapat didengar atau dibaca ungkapan seperti ”hati nurani bangsa”,”hati nurani kaum cendikiawan”. Sebuah surat kabar harian terbitan Ibu Kota menyandang semboyang: ”Amanat Hati Nurani Rakyat”. Apakah cara bicara itu hanya kiasan atau sungguh-sungguh terhadap suatu hati nurani dalam arti yang sebenarnya selalu berkaitan dengan pesona tertentu. Hati nurani hanyabisa bicara atas nama seorang pribadi. Ungkapan seperti ”hati nurani bangsa” memang hanya bersifat kiasan.
Disamping aspek persoalan, hati nurani menunjukkan juga suatu aspek adipersonal. Selain bersifat pribadi, hati nurani juga seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi diatas kita. Aspek ini tampak dalam istilah “hati nurani”itu sendiri. “Hati Nurani” berarti “hati yang diterangi”(nur=cahaya). Dalam pengalaman mengenai hati nurani seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Aspek yang sama tampak juga dalam nama-nama lain yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan hati nurani: suara hati nurani, kata hati, suara batin. Rupanya justru aspek ini sangat mengesankan, hingga terungkap dalam begitu banyak nama. Terhadap hati nurani, kita seakan-akan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Hati nurani mempunyai suatu aspek transenden, artinya, melebihi pribadi kita.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragam kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani artinya, kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinnya, maka ia akan mengambil keputusannya”dihadapan Tuhan”. Ia insaf dengan itu akan mentaati kehendak Tuhan. Dan sebaliknya, bertindak bertentangan dengan hati nurani tidak saja seperti menghianati dirinya sendiri, tapi serentak juga melanggar kehendak Tuhan.
Mungkin bagi orang beragama malah tidak ada cara lebih jelas untuk menghayati hubungan erat antara moralitas dan agama daripada justru pengalaman hati nurani ini. Akan tetapi, adalah naif sekali, bila orang berpikir bahwa melalui hati nurani Tuhan berbisik-bisik dalam batin kita. Dan bukan saja anggapan semacam itu naif, tapi juga berbahaya. Banyak orang beragama yang fanatik telah mengatakan bahwa tindakan mereka atas perintah Tuhan , sedangkan bagi masyarakat luas tindakan itu tidak lain dari kejahatan atau terorisme. Banyak pembunuhan dan kejahatan lain telah dilakukan dengan dukungan hati nurani.
Tapi kalau begitu, hati nurani disalahgunakan. Seperti akan dijelaskan lagi hati nurani tidak akanmelepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif.. apalagi, orang yang tidak mengakui adanya Tuhan pun memiliki hati nurani yang mengikat mereka sama seperti orang beragama. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai  hati nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justeru menyediakan landasan untuk mencapai persetujuan dibidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaan mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dan lain-lain.

F.    HATI NURANI SEBAGAI NORMA MORAL YANG SUBJEKTIF
Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan, kehendak atau rasio. Sekarang kita sudah menyadari bahwa persoalannya sebetulnya tidak boleh dirumuskan dengan cara begitu. Dalam filsafat dewasa ini sudah terbentuk keyakinan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan ke dalam pelbagai fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan tapi tidak boleh dipisahkan. Dalam hati nurani pula memainkan peranan baik perasaan mau pun kehendak maupun juga rasio. Tapi terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan : ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio. Tapi dalam hal ini perlu dibedakan antara dua macam rasio : rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis memberi jawaban atas pertanyaan : apa yang dapat saya ketahui? Atau juga : bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas? Dengan demikian rasio dalam arti ini merupakan sumber pengetahuan, termasuk juga ilmu pengetahuan. Sedangkan rasio praktis terarah pada tingkah laku manusia. Rasio praktis memberi jawaban atas pertanyaan : apa yang harus saya lakukan? Dengan itu rasio praktis memberi penyuluhan bagi perbuatan-perbuatan kita. Kalau rasio teoretis bersifat abstrak, maka rasio praktis justru bersifat konkret. Jati nurani juga sangat konkret sifatnya dan mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan di sini. Putusan hati nurani “mengkonkretkan” pengetahuan etis kita yang umum. Pengetahuan etis kita (prinsip-prinsip moral yang kita pegang dan nilai-nilai yang kita akui) hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret. Hati nurani seolah-olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita yang umum dengan perilaku konkret.
Biarpun putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani pada umumnya bersifat intuituf, artinya langsung menyatakan : ini baik dan terpuji atau itu buruk dan tercela. Pemikiran intuituf berlangsung “bagaikan tembakan” : langsung , satu kali tembak, tidak menurut tahap-tahap perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi. Namun demikian, kadang-kadang putusan hari nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada suatu argumentasi, terutama hati nurani prospektif. Dalam contoh ketika Arjuna seolah-olah membentuk suatu penalaran. Ia mulai dengan mempertimbangkan prinsip umum bahwa membunuh kerabat dan orang yang dekat dengannya tidak boleh. Lantas ia melihat situasi yang dihadapinya : ia harus bertempur melawan sanak saudara dan bekas guru-gurunya yang sangat berjasa baginya. Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan : “saya tidak akan berperang”. Tapi sebetulnya kesimpulan itu sendiri bersifat intuituf juga, walaupun sudah dipersiapkan sebelumnya.
Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Tidak boleh terjadi, seorang dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan hati nuraninya. Maka tidak mengherankan, bila dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebut juga “hak atas kebebasan hati nurani” (Pasal 18). Konsekuensinya bahwa negara harus menghormati putusan hati nurani para warganya, bahkan kalau kewajiban itu menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Dengan kata lain, negara harus menghormati hak dari conscientious objector : orang yang berkeberatan memenuhi suatu kewajiban sebagai warga negara karena alasan hati nurani. Contoh terkenal adalah konflik yang sering dialami di negara-negara yang mempraktikkan wajib militer. Di sana tidak jarang ada orang muda yang menolak untuk memenuhi wajib militer dengan alasan hati nurani. Misalnya, mereka menandaskan bahwa suara hati nurani melarang mereka ikut serta dalam latihan-latihan militer yang bertujuan membunuh sesama manusia. Dalam kasus semacam itu negara menghadapi dilema yang tidak mudah: menjalankan tugas-tugas pertahanan nasional dengan baik atau menghormati hati nurani para warga negara. Dulu orang seperti itu diadili dan divonis beberapa tahun di penjara. Dengan demikian kepentingan nasional mengalahkan hak pribadi. Filsuf dan pengarang besar dari Inggris, Bertrand Russell (1872 – 1970), di masa mudanya masih sempat menjadi korban dari konflik kepentingan serupa itu. Ketika pada saat Perang Dunia I a memprogandakan pasifisme dan menolak masuk dinas militer Inggris, ia dipecat sebagai dosen Universitas Cambridge dan dipenjarakan beberapa bulan. Tapi sekarang kebanyakan negara modern mengakui hak orang muda untuk menolak masuk tentara karena alasan hati nurani. Hanya saja, mereka diwajibkan mengikuti suatu masa pengabdian alternatif, misalnya, suatu tugas sosial, yang tentu waktunya lebih lama dan imbalan finansialnya kurang, dibandingkan dengan dinas militer. Alternatif itu harus kurang menarik secara objektif untuk mencegah terlalu banyak orang akan menolak wajib militer dengan dalih hati nurani. Bila orang memilih alternatif ini – membuktikan ia mengikuti hati nuraninya dengan ikhlas dan tidak mencari alasan yang dibuat-buat. Jika dalam Bab 5 kita akan membahas masalah hak, tentu hak untuk mengikuti hati nurani akan disebut lagi.
Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Malah bisa dikatakan : dipandang dari sudut subjek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan kita. Kita selalu wajib mengikuti hati nurani dan tidak pernah boleh kita lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti itu hati nurani mengikat kita secara mutlak. Namun, harus berlangsung ditambahkan, putusan hati nurani yang merupakan norma moral terakhir bersifat subjektif dan belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara objektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara objektif perbuatan itu buruk. Sepanjang sejarah, banyak pembunuhan dan penganiayaan dilakukan orang fanatik atau teroris yang menganggap dirinya diwajibkan oleh suara hati. Mungkin pembunuh Mahatma Gandhi atau Martin Luther King pun beranggapan melakukan suatu perbuatan baik yang diperintahkan hati nurani. Padahal, semua orang yang berpikiran sehat akan menolak pembunuhan-pembunuhan itu sebagai kejahatan besar. Karena itu sesuatu yang sudah dikatakan sebelumnya, di sini perlu dirinci lagi. Hati nurani memang membimbing kita dan menjadi patokan untuk perilaku kita, tapi yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah tidaknya si pelaku. Bila suatu perbuatan secara objektif baik, tapi suara hati menyatakan bahwa perbuatan itu buruk, maka dengan melakukan perbuatan itu orang bersangkutan toh secara moral bersalah. Dan, sebaliknya, orang tidak bersalah, bila suara hatinya menyangka bahwa perbuatan tertentu baik, sedangkan secara objektif perbuatan itu buruk. Jadi, hati nurani adalah norma perbuatan kita pertama-tama sejauh menyangkut soal kebersalahan.
Dalam kehidupan moral pribadi peranan hati nurani sangat penting. Manusia adalah orang yang hidup baik (secara moral) bila ia selalu hidup menurut hati nuraninya. Namun, bukan sembarang hati nurani patut membimbing hidup moral kita, tapi hanya hati nurani yang dididik dengan baik. Manusia bukan saja wajib untuk selalu mengikuti hati nuraninya, ia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subjektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas moral objektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik secara subjektif akan sama dengan yang baik secara objektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaan ideal itu bisa dicapai.

G.    PEMBINAAN HATI NURANI
  Tidak sedikit filsuf mencurigakan ajaran tradisional tentang hati nurani, justru karena hati nurani bersifat subjektif. Kecurigaan ini terutama ditemukan pada filsuf-filsuf yang dipengaruhi oleh cara berpikir ilmu pengetahuan empiris. Ilmu pengetahuan empiris mempunyai sebagai cita-cita : objektivitas sempurna, keadaan yang sedapat mungkin dilepaskan dari setiap unsur subjektif. Bagi mereka, subjektivitas sama artinya dengan “kurang serius”, “tidak bisa diandalkan”, “sewenang-wenang”. Pengalaman bahwa hati nurani sering tersesat, memperkuat lagi pendapat mereka. Karena sifat subjektif itu – mereka tegaskan – hati nurani juga mudah disalahgunakan. Hati nurani bisa menjadi kedok untuk melakukan rupa-rupa kejahatan. Secara prinsipil tidak mungkin untuk mengecek apakah klaim hati nurani sungguhan atau pura-pura saja, memang berasal dari hati sanubari yang murni atau hanya bermaksud mengelabui orang lain. Kita tidak bisa melihat ke dalam hati nurani orang lain; kita hanya tahu dengan pasti tentang hati nurani kita sendiri, yang – sekali lagi – belum tentu benar juga. Apalagi mereka lanjutkan, problem-problem moral pada umumnya begitu sulit dan kompleks, sehingga ucapan subjektif dari hati nurani tidak merupakan pemandu terpercaya yang dengan aman mengantar kita ke kebenaran etis.
Memang betul, hati nurani tidak pernah mengganti usaha kita untuk mempelajari dengan teliti serta mendalam prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang harus mengarahkan tingkah laku kita. Etika sebagai ilmu tidak menjadi mubazir dengan adanya hati nurani. Etika harus berusaha keras untuk mencari kepastian ilmiah dan objektif tentang problem-problem moral yang dihadapi. Tapi bagaimanapun, etika sebagai ilmu selalu bergerak pada tahap umum. Dan, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, hati nurani justru bertugas untuk menerjemahkan prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang umum ke dalam situasi konkret. Karena itu peranan hati nurani selalu akan dibutuhkan. Namun, untuk itu bukan sembarang hati nurani akan berfungsi dengan semestinya. Ada banyak tipe hati nurani : ada yang halus dan jitu, ada pula yang longgar dan kurang tepat, bahkan ada yang tumpul. Dalam prikiatri dibicarakan tentang moral insanity : kelainan jiwa yang membuat orang seolah-olah “buta” dibidang etis, sehingga tidak bisa membedakan antara baik dan buruk. Orang seperti itu tidak normal, karena tidak mempunyai hati nurani. Ia bisa melakukan kejahatan besar, seperti membunuh, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Orang yang menderita moral insanity perlu diobati. Tapi biasanya terjadi bahwa hati nurani dalam keadaan tumpul, karena salah dididik. Anak yang dididik dalam keluarga pencuri, misalnya, hampir tidak mungkin akan mempunyai putusan hati nurani yang baik tentang hak milik. Bagaimana keadaan hati nurani (jitu, longgar atau tumpul), sebagian besar tergantung pada pendidikan. Hanya hati nurani yang dididik dan dibentuk dengan baik, dapat memberikan penyuluhan tepat dalam hidup moral kita.
Hati nurani harus dididik, seperti juga akal budi manusia membutuhkan pendidikan. Tapi pendidikan akal budi jauh lebih gampang untuk dijalankan. Metode-metode yang seharusnya digunakan untuk mencapai hasil optimal, dalam mendidik akal budi jauh lebih jelas. Pendidikan di sekolah terutama bertujuan mengembangkan dan mendidik akal budi anak-anak. Memang benar, sekarang diakui secara umum bahwa pendidikan di sekolah tidak boleh berorientasi eksklusif intelektualistis. Dalam diri anak pun akal budi terintegrasi dengan seluruh kepribadiannya. Namun demikian, tetap tinggal benar juga bahwa pendidikan di sekolah secara khusus diarahkan pada akal budi. Di sekolah mendidik terutama berarti “mencerdaskan”. Pendidikan hati nurani – bersama dengan seluruh pendidikan moral – jauh lebih kompleks sifatnya. Dalam sebuah buku kecil, filsuf Perancis Gabriel Madinier (1895- 1958) mengemukakan beberapa pikiran yang pantas diperhatikan. Tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah. Pendidikan hati nurani ini harus dijalankan demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri. Pada mulanya anak kecil hanya bisa dilatih untuk menyesuaikan diri secara lahiriah dengan kehendak para pendidiknya. Dalam keadaan itu ketakutan akan hukuman menjadi motivasi utama untuk mematuhi perintah orang tua. Pendidikan selanjutnya harus menanam kepekaan batin terhadap yang baik. Seperti tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian juga dibidang moral. Anak-anak harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena paksaan dari luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama-kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
Dalam hal ini, kata Madinier, kekuatan para orang tua dan pengasuh lainnya ialah bahwa mereka sendiri patuh juga. Mereka tidak memerintahkan semau-maunya, tetapi mentaati sesuatu yang melampaui kemauan mereka sendiri. Kewajiban terhadap hukum moral mengikat semua orang. Pendidikan moral tidak mungkin berhasil, bila para pendidik tidak menjadi panutan dalam memenuhi hukum moral. Contoh yang baik memberi dinamika khas kepada seluruh proses pendidikan. “Pendidikan hati nurani seolah-olah berjalan dengan sendirinya, bilamana si anak diliputi oleh suasana yang sehat serta luhur dan ia melihat bahwa orang di sekelilingnya memenuhi kewajiban mereka dengan saksama dan mempraktikkan keutamaan-keutamaan yang mereka ajarkan. Jadi, kalau secara teoretis pendidikan hati nurani lebih sulit daripada pendidikan akal budi, pada taraf praktis hati nurani lebih sulit daripada pendidikan akal budi, pada taraf praktis kesulitan itu kurang terasa, asal saja keluarga diliputi iklim moral yang serasi dan menunjang. Pendidikan hati nurani tidak membutuhkan sistem pendidikan formal, malah lebih baik berlangsung dalam rangka pendidikan informal, yaitu keluarga. Sedangkan pendidikan akal budi sulit untuk dijalankan diluar rangka pendidikan formal.

H.    HATI NURANI DAN SUPEREGO
Sering kali hati nurani dikaitkan dengan “Superego”, bahkan tidak jarang kedua hal itu disamakan begitu saja. Karena itu tidak ada salahnya, jika disini kita mempelajari juga “Superego”, walaupun dengan demikian kita sebenarnya meninggalkan pokok pembicaraan etika dan memasuki wilayah psikologi. Pada dasarnya pasal ini (dan dua pasal berikutnya) termasuk apa yang sebelumnya disebut etika deskriptif dan bukan etika normatif dalam arti sesungguhnya. Istilah “superego” berasal dari Sigmund Freud (1856 – 1939), dokter ahli saraf Austria yang meletakkan dasar untuk psikoanalisis. Ia mengemukakan istilah itu dalam rangka teorinya tentang struktur kepribadian manusia. Atau lebih tepat lagi, bila dikatakan bahwa ini teorinya yang kedua tentang struktur kepribadian, yang sejak tahun 1923 (artinya, sejak bukunya The Ego and The Id) menggantikan padangannya yang terdahulu. Kendati bertubi-tubi terkena kritikan, serangan dan penolakan, namun minat untuk psikoanalisis Freud bertahan terus dan rasanya untuk seterusnya pun tidak akan hilang. Pada tahun 2000, pada kesempatan pergantian abad, majalah Amerika Times mengeluarkan sebuah nomor khusus tentang 100 tokoh paling penting dalam abad ke – 20 dan Freud dimasukkan didalamnya, meskipun diakui juga bahwa ia masih tetap figur yang kontroversial dan untuk masa depan tidak bias diharapkan hal itu akan berubah.
1.    Pandangan Freud tentang Struktur Kepribadian
Tubuh kita mempunyai struktur tertentu : ada kepala, kaki, lengan dan batang tubuh. Psike kita juga mempunyai struktur, walaupun tentu tidak terdiri dari bagian-bagian dalam ruang. Struktur psikis manusia menurut Freud meliputi tiga instansi atau tiga sistem yang berbeda-beda. Sebagaimana akan dijelaskan lagi, sistem-sistem ini memegang peranan sendiri-sendiri dan kesehatan psikis seseorang sebagian terbesar tergantung dari keharmonisan kerja sama diantaranyta. Ketiga instansi ini masing-masing adalah Id, Ego, Superego.
Superego itu berhubungan erat dengan apa yang kita sebut dalam etika dengan nama “hati nurani”. Tapi supaya hubungan itu dapat dimengerti, perlu lebih dulu dijelaskan tentang ketiga instansi itu, satu demi satu.
a.    Id
Freud pernah mengatakan bahwa hidup psikis kita ibarat gunung es yang terapung-apung di laut. Hanya puncaknya tampak diatas permukaan air, tapi sebagian terbesar gunung e situ tidak kelihatan, karena terpendam air laut. Hidup psikis manusia juga untuk sebagian terbesar tidak tampak atau – lebih tepat – tidak sadar, namun tetap merupakan kenyataan yang harus diperhitungkan. Itu berarti, apa yang dilakukan oleh manusia – khususnya yang diinginkan, dicita-citakan, dikehendaki – untuk sebagian besar tidak disadari oleh manusia itu sendiri! Freud mengintroduksikan kedalam psikologi paham “ketidaksadaran dinamis”, artinya, ketaksadaran yang mengerjakan sesuatu dan tidak tinggal diam. Dengan itu ia mengadakan semacam revolusi dalam pandangan tentang manusia. Pada permulaan psikologi modern hidup psikis disamakan begitu saja dengan kesadaran. Hal itu diwarisi oleh psikologi dari filsuf Prancis Rene Descartes (1596 – 1650) yang dijuluki “bapak filsafat modern” dan menjalankan pengaruh besar atas psikologi, ketika mulai berkembang sebagai suatu ilmu tersendiri. Bagi Descartes, kegiatan psikis yang tak sadar merupakan suatu kontradiksi, karena hidup psikis sama saja dengan kesadaran. Sejak Freud kita tahu bahwa ada juga aktivitas-aktivitas psikis yang tidak disadari oleh subjek bersangkutan sendiri.
Freud memakai istilah “Id” untuk menunjukkan ketaksadaran itu. Id adalah lapisan yang paling fundamental dalam susunan psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, tidak sengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia.
Justru karena itu Freud memilih istilah “Id” (atau bahasa aslinya “Es”) yang merupakan kata ganti orang neutrum. Tentang Id berlaku : bukan aku (=subjek) yang melakukan, melainkan ada yang melakukan dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah terbukti terutama dengan tiga cara. Pertama, faktor psikis yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah mimpi. Buku yang pertama di bidang psikoanalisis justru membahas mimpi (Penafsiran mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku bahwa “bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya”. Bila bermimpi, si pemimpi seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya oleh ketaksadaran. Kedua, adanya Id terbukti juga, jika kita mempelajari perbuatan-perbuatan yang pada pandangan pertama rupanya remeh saja dan tidak punya arti, seperti perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo lidah”, lupa dan sebagainya. Menurut pendapat Freud, perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tetapi berasal dari kegiatan psikis yang tak sadar. Misalnya, ketua DPR Austria pernah membuka siding parlemen dengan mengetok palunya sambil berkata : “Dengan ini siding saya tutup”. Maksudnya “buka”, tapi yang dikatakannya “tutup”. Mengapa begitu? Karena bagi sang ketua, siding hari itu terasa sangat berat. Ia ingin sekali agar siding itu cepat selesai. Keinginan yang sadar itu mengakibatkan dia keseleo lidah. Atau contoh dari seorang murid Freud yang lupa mengeposkan sepucuk surat. Jika ia berefleksi tentang kejadian itu ia sampai pada kesimpulan bahwa ia “lupa” mengeposkan suratnya, karena isinya tentang sesuatu yang amat berat baginya. Secara tak sadar ia tidak mau mengirim surat itu dan karenanya ia sampai “lupa”. Freud memperlihatkan bahwa perbuatan-perbuatan semacam itu berasal dari ketaksadaran dalam bukunya Psikopatologi tentang hidup sehari-hari (1901). Ketiga, alasan paling penting bagi Freud untuk menerima adanya ketaksadaran adalah pengalamannya dengan pasien-pasien yang menderita neurosis. Penyakit neurosis merupakan teka-teki medis yang besar bagi kalangan kedokteran pada waktu itu. Dari segi fisiologis pasien-pasien itu tidak mengidap kelainan apa-apa, namun pada kenyataannya mereka mempunyai bermacam-macam gejala aneh, seperti tangan lumpuh, untuk beberapa waktu mata buta, dan sebagainya. Freud menemukan bahwa neurosis disebabkan oleh faktor-faktor tak sadar. Misalnya, wanita muda berumur 21 tahun yang menderita histeria (histeria merupakan salah satu contoh neurosis) dan selama beberapa waktu tidak bias minum, hingga terpaksa menghilangkan rasa hausnya dengan makan buah-buahan. “Keadaan ini berlangsung selama kira-kira enam minggu, sampai pada suatu hari dalam hipnosis ia menggumam tentang guru pribadinya, seoarang wanita berkebangsaan Inggris yang tidak disukainya. Dan sambil menyatakan rasa muaknya, dilukiskannya bagaimana pada suatu hari ia masuk kamar wanita ini dan melihat di situ anjing kecilnya – binatang yang menjijikkan! – minum dari sebuah gelas. Pasian tidak berkata apa-apa, karena ia mau berlaku sopan. Setelah dengan hebat ia mengeluarkan kemarahannya yang sudah begitu lama disimpan dalam hati, ia minta minuman, lalu minum banyak sekali air tanpa kesulitan apa-apa dan bangun dari hipnosis dengan gelas pada bibirnya. Sesudah itu gangguan tersebut hilang sama sekali dan tidak kembali lagi. Freud menemukan bahwa pasien neurotis bias sembuh dengan menggali kembali trauma psikis yang terpendam dalam ketaksadarannya.
Jika dengan Id dimaksudkan ketaksadaran, maka Id itu secara konkret terdiri dari apa? Apakah isinya? Id terdiri dari naluri-naluri bawaan, khususnya naluri-naluri seksual (ingat, misalnya, akan teori Freud tentang Kompleks Oedipus) serta agresif, lagi pula keinginan-keinginan yang direpsesi. Pada awal mula, hidup psikis manusia terdiri dari Id saja. Pada janin dalam kandungan ibunya dan pada bayi yang baru lahir, hidup psikis untuk seratus persen sama dengan Id. Id itu hampir tanpa struktur apapun dan secara menyeluruh dalam keadaan kacau balau. Namun demikian, Id itulah yang menjadi bahan dasar bagi perkembangan psikis lebih lanjut. Pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh kontrol pihak subjek. Id hanya melakukan apa yang disukai. Kata Freud : Id dipimpin oleh “prinsip kesenangan” (the pleasure principle). Dalam Id tidak dikenal urutan menurut waktu; sebetulnya Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless). Hukum-hukum logika pun tidak berlaku untuknya. Dalam mimpi sering kali kita melihat hal-hal yang sama sekali tidak logis. Dan hal yang sama dapat dikatakan tentang gejala-gejala neurotis. Walaupun faktor-faktor tak sadar memainkan peranan besar dalam neurosis, perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan universal. Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.

b.    Ego
Ego atau Aku mulai mekar dari Id melalui kontaknya dengan dunia luar, khususnya dengan orang yang dekat dengannya seperti orang tua dan pengasuh. Aktivitas Ego bias sadar, prasadar mau pun tidak sadar. Tapi untuk sebagian besar Ego bersifat sadar. Sebagai contoh aktivitas sadar boleh disebut : persepsi lahiriah (saya melihat pohon di situ), persepsi batiniah (saya merasa sedih) dan proses-proses intelektual. Sebagai contoh tentang aktivitas prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali nama yang tadinya saya lupa). Dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms), misalnya, orang yang dalam hati kecilnya sangat takut pada kenyataannya berlagak gagah berani. Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” (the realitiy principle), kata Freud, sebagaimana tampak dalam pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Jadi, prinsip kesenangan dari Id di sini diganti dengan prinsip realitas. Adalah tuga Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, lagi pula untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dan apa yang dikerjakan. Akhirnya, Ego menjamin kesatuan kepribadian atau – dengan kata lain – mengadakan sintesis psikis.

c.    Superego
Superego adalah instansi terakhir yang ditemukan Freud. Lama-kelamaan ia yakin bahwa di samping Id dan Ego masih harus diterima suatu instansi lain yang seolah-olah bertempat diatas Ego (dan karena itu namanya : Superego), sebab bersikap kritis terhadapnya, bahkan bisa sampai menghantam. Mari kita mendengarkan suatu keterangan yang diberikan oleh Freud sendiri. “Sepanjang proses terbentuknya teori analitis, mau tidak mau harus kami akui adanya instansi lain, yang telah melepaskan diri dari Ego. Kami menyebutnya “Superego”. Superego ini mempunyai tempat khusus di antara Ego dan Id. Superego itu termasuk Ego, dan seperti Ego ia mempunyai susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga mempunyai kaitan sangat erat dengan Id…. Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai objek dan caranya kerap kali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan Superego seperti dengan Id. Ketidakcocokan antara Ego dan Superego mempunyai konsekuensi besar bagi hidup psikis. Barangkali Anda sudah menerka bahwa Superego ini merupakan dasar bagi fenomena yang kita sebut “hati nurani”. Boleh ditambahkan lagi, superego itu secara khusus berkaitan dengan aspek suprapersonal dari hati nurani.
Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari Ego dalam bentuk observasi-diri, kritik-diri, larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri. Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif yang dialami subjek sepanjang perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil sebagai “asing” bagi si subjek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita dan sebagainya, yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua), diterima sepenuhnya oleh si subjek, sehingga akhirnya terpancar dari dalam. “Engkau tidak boleh mencuri” (larangan dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku harus mengembalikan barang milik orang lain”. “Anak putri tidak boleh memanjat pohon” (teguran dari kakak) menjadi “Saya tidak boleh memanjat pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak perempuan”.
Boleh dicatat lagi, internalisasi ini adalah kebalikannya dari proses psikologis yang disebut “proyeksi”. Dalam proyeksi, keadaan batin manusia diterapkan pada dunia luar. Misalnya, seorang yang berwatak penakut di mana saja akan melihat bahaya. Bila berjalan di tempat gelap pada malam hari ia akan melihat hantu. Yang dianggap “hantu” itu tidak lain daripada keadaan batinnya yang diproyeksi ke luar. Atau contoh lain : penyair bias melukiskan alam dengan menerapkan rasa batinnya padanya, sambil mengatakan – misalnya – bahwa hutan bergembira ria. Dalam internalisasi, sebaliknya, keadaan di luar manusia dimasukkan ke dalam batinnya.
Aktivitas Superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego, yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, rasa malu, dan nsebagainya. Perasaan-perasaan itu tentu dapat dianggap normal. Tapi bias terjadi juga bahwa orang sungguh-sungguh disiksa oleh Superego, sehingga hidup normal bagi dia sudah tidak mungkin lagi. Dan perhatian Freud diarahkan ke Superego, terutama karena pengalamannya dengan kasus-kasus seperti itu. Nanti kita bahas lagi hal ini secara lebih mendalam.

I.    HUBUNGAN HATI NURANI DAN SUPEREGO
Teori Freud tentang struktur kepribadian tentu jauh lebih kompleks daripada yang bias diuraikan di sini. Tapi penjelasan di atas kiranya sudah cukup untuk mendapat gambaran sedikit tentang maksud Freud dengan Superego. Sekarang kita sudah siap untuk menyelidiki lebih lanjut bagaimana hubungan hati nurani dengan Superego. Apakah hati nurani bias disamakan dengan Superego atau kedua hal itu berbeda? Dan kalau berbeda, itu berarti berbeda sama sekali atau masih ada kaitan tertentu antara keduanya?
Menurut hemat kami, hati nurani dan Superego tidak bias disamakan. Konteks dimana kedua paham itu dipakai sangat berbeda. Hati nurani dipakai dalam konteks etis, sedangkan Superego berperan dalam konteks psikoanalisis (atau dirumuskan lebih teknis : dalam konteks metapsikologis). Dalam dua halk itu kerangka acuannya sangat berbeda.
Alasan lain yang menggagalkan setiap usaha untuk menyetarafkan hati nurani dengan Superego ialah bahwa aktivitas Superego bisa tak sadar : pada tahap Superego baik sumber rasa bersalah maupun rasa bersalah itu sendiri bisa tetap tidak disadari. Sedangkan dalam konteks etis, hati nurani tentu hanya bisa berfungsi pada tarf sadar. Peranan hati nurani dalam hidup etis justru mengandaikan bahwa orang bersangkutan menyadari rasa bersalah dan ia tahu juga apa sebabnya ia merasa bersalah. Taraf sadar merupakan prasyarat supaya hati nurani bisa berfungsi dengan baik, karena selama tidak disadari tidak mungkin ia menjadi penuntun dan penyuluh di bidang moral. Alasan ketiga adalah bahwa cakupan Superego lebih luas daripada hati nurani, seperti akan dijelaskan sebentar lagi.
Tentang hubungan antara hati nurani dan Superego dapat dikatakan sebagai berikut. Sebaiknya Superego dimengerti sebagai dasar psikologis bagi fenomena etis yang kita sebut “hati nurani” atau lebih tepat kita katakana, sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi seperti hati nurani yang etis. Sebab, menurut pandangan Freud, Superego bersifat lebih luas daripada hati nurani saja. Dalam buku Pengantar baru pada psikoanalisis (1933), salah satu buku terakhir yang ditulisnya, ia mengatakan bahwa selain hati nuraniu Superego meliputi juga fungsi-fungsi observasi-diri dan “ideal dari aku” (gambaran yang dipakai subjek untuk mengukur dirinya dan sebagai standar yang harsu dikejar). Tidak ada keberatan juga untuk menerima penjelasan Freud tentang asal-usul Superego. Bisa saja Superego terbentuk karena internalisasi dari perintah-perintah dan larangan-larangan orangtua. Harus disetujui dengan Freud bahwa fungsi-fungsi psikis manusia pada permulaan hidupnya praktis sama dengan nol dan dari situ mengalami perkembangan berbelit-belit sampai akhirnya mencapai taraf kedewasaan. Hati nurani tidak terkecuali. Banyak ahli psikologi berpendapat bahwa Freud telah menggariskan inti perkembangan  itu dengan tepat melalui teorinya tentang internalisasi. Tapi asal-usul itu tidak mengurangi sedikitpun martabat serta kewibawaan hati nurani. Akal budi manusia juga mengalami suatu perkembangan kompleks, hingga akhirnya menjadi instansi yang menuntut serta membina kita dalam mencari kebenaran. Tapi walaupun akal budi telah mengalami suatu perkembangan panjang serta berbelit-belit, namun kebenaran tetap mengikatnya. Demikian halnya juga dengan hati nurani. Sekalipun Superego (sebagian dasar psikologis bagi hati nurani dalam arti etis)belum terdapat pada permulaan hidup seorang manusia dan telah terbentuk dalam suatu proses yang kompleks, namun apa yang berlaku bagi hati nurani tetap mengikat kita. Bila hati nurani mengatakan : misalnya, bahwa saya tidak boleh menipu orang lain (biarpun orang tertentu sebenarnya gampang sekali ditipu, karena sikapnya naïf), putusan hati  nurani itu mengikat saya begitu saja, terlepas dari masalah bagaimana hati nurani itu sampai terbentuk.
Suatu keberatan yang sering dikemukakan terhadap pandangan Freud mengenai Superego adalah bahwa ia menyoroti bentuk patologis dari hati nurani, artinya hati nurani dalam keadaan tidak normal. Sebagaimana sudah kita lihat, Freud mengembangkan psikoanalisis dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien-pasien neurotis. Tidak dapat disangkal, perhatian untuk dan pengalaman dengan pasien itu menandai seluruh karyanya. Dalam konteks itu ia menjumpai juga rasa bersalah yang abnormal. David Jones menekankan bahwa Freud sering kali mencampuradukkan rasa kecemasan yang patologis dengan rasa bersalah moral. Sampai-sampai ia member kesan seolah-olah seseorang secara praktis lebih sehat sejauh kurang “diganggu” oleh perasaan moral seperti rasa bersalah. Tapi kesan ini tidak betul dan disebabkan karena Freud tidak membedakan dengan tajam antara perasaan cemas yang patologis dan perasaan moral yang otentik. Freud sendiri tidak menolak perasaan-perasaan moral. Sebaliknya, ada cukup banyak teks dimnana ia mengucapkan niatnya untuk membebaskan pasien dari gangguan yang dideritanya, artinya memulihkan bagi dia suatu kehidupan moral yang sehat.
Diantara murid-murid Freud memang ada yang menilai setiap rasa bersalah sebagai patologis. Contoh terkenal adalah pandangan psikiater Prancis A. Hesnard (1882 – 1969) dalam bukunya “Moral tanpa dosa”. Ia berpendapat bahwa manusia harus membebaskan diri dari kecenderungan kurang sehat untuk berefleksi tentang dirinya dan memelihara suatu kehidupan batin yang tidak real. Terutama ia harus melepaskan diri dari kebiasaan untuk menaruh perasaan bersalah. Janganlah dia membiarkan dirinya terganggu oleh penderitaan yang tidak berguna itu. Sebab, dengan itu ia terkurung saja dalam batinnya dan tidak terarah pada pembangunan dunia. Rasa bersalah sebagai kecemasan untuk kecenderungan-kecenderungan tak teratur harus menghilang dan diganti dengan perbuatan saya. Moral harus menjadi semacam teknik untuk mewujudkan kebahagiaan bagi manusia, sesamanya dan masyarakat. Untuk itu moral harus dilepaskan dari latar belakang mistisnya yang gelap dan dibersihkan dari rasa bersalah yang merongrong ketenangan jiwa.
Psikoanalisis Freud mempunyai jasa besar dalam memperlihatkan bahwa rasa bersalah sering kali tercampur dengan unsur-unsur patologis. Rasa bersalah bisa sampai menyiksa seseorang di luar batas. Salah satu contoh dari Freud sendiri menyangkut seorang pasien yang “mau tidak mau harus bertanya pada dirinya sendiri, apakah bukan dialah pembunuh yang sedang dicari polisi sehubungan dengan suatu kasus kejahatan yang telah ditemukan pada hari itu. Tentu saja, semuanya itu omong kosong belaka dan ia sendiri tahu bahwa ia belum pernah bersalah terhadap siapapun. Tetapi seandainya ia sungguh-sungguh pembunuh yang dicari oleh polisi, tidak mungkin rasa bersalah pada dia akan lebih besar lagi”. Contoh ekstrem ini bisa dilengkapi dengan banyak contoh lain dimana dengan cara lebih halus rasa bersalah tercampur dengan kecemasan yang tidak sehat. Tapi tidak boleh kita tarik kesimpulan, seperti sebenarnya dilakukan oleh Hesnard, bahwa rasa bersalah selalu patologis. Psikoanalisis justru dapat membantu kita untuk membedakan antara rasa bersalah yang kurang sehat serta rasa bersalah yang otentik dan dapat menjaga agar rasa bersalah itu sedapat mungkin otentik, artinya, terpancar daari kepribadian yang utuh. Freud sendiri pada dasarnya mengandaikan adanya dua macam rasa bersalah itu, biarpun tidak dijelaskan olehnya secara eksplisit.
Masalah ini terutama penting dalam konteks agama. Dalam agama, dosa dan kebersalahan memainkan peranan besar. Di hadapan Tuhan yang Maha Kudus manusia menyadari kebersalahannya dan ia mengharapkan pengampunan atas dosa-dosanya. Kalau rasa bersalah selalu harus dianggap patologis (seperti dikatakan A. Hesnard), dari sudut pandang psikologis perilaku dan sikap orang beriman selalu ditandai oleh faktor patologis juga. Tetapi kalau kita membedakan rasa bersalah patologis dari rasa bersalah otentik, menjadi mungkin suatu perilaku dan sikap keagamaan yang bebas dari faktor psikologis, meskipun penghayatan agara tetap menjadi suatu bidang psikologis dimana rasa bersalah patologis mudah bisa muncul, justru karena rasa bersalah di situ begitu penting.
DAFTAR PUSTAKA

Zubair, Charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Poedjawiyatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Bertens. Etika. 1994. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Held, Virginia. 1991. Etika Moral. Jakarta: Erlangga.
Admin, 2010. Hati Nurani dan Profesionalisme.
    http://serbaunik.info/hati-nurani-dan profesional.cmd
Bertens. K. 2011. ETIKA. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Editor, 2010. Hati Nurani. http://allamandasyifa.wordpress.com/hati-nurani/
Minglie, K. 2010. Hati Nurani itu, Apa ya (2)
    http://filsafat.kompasiana.com/2012/10/04/hati-nurani-itu-apa-ya-2/
Nashrulloh, A. 2009. Filsafat Hati Nurani (Bag. 1).
    http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2012/10/04/filsafat-hati-nurani-bag-1/
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5830-apakah-hati-nurani-itu
http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=522:menghidupkan-hati-nurani&catid=14:politik-hukum-dan-ham&Itemid=131
http:/4112-hati-nurani.html
http://www.sabda.org/reformed/hati_nurani_dan_moral
http://www.antara.co.id/view/?i=1174484778&c=ART&s=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar