Peranan
Etika dalam Dunia Modern
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, etika adalah
ilmu tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, juga tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak, serta nilai yang dianggap benar dan salah yang dianut suatu
golongan masyarakat.
Etika tidak dapat dipisahkan dengan etiket.
Kedua hal ini sangatlah berhubungan.
Perbedaannya, etika berarti moral, sedangkan etiket berarti sopan santun. Cara
suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia, cara tersebut harus tepat,
artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam kalangan tertentu.
Misalnya; jika saya menyerahkan amplop kepada atasan harus menggunakan tangan
kanan. Dianggap sebuah pelanggaran jika menyerahkan dengan tangan kiri. Tetapi
etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi
norma terhadap perbuatan itu sendiri. Misal; A menyerahkan amplop kepada B
dengan cara yang sangat sopan, namun B adalah seorang hakim, dan A adalah orang
yang mempunyai perkara dengan hukum, artinya A menyuap B agar membebaskan
dirinya dari jeratan hukum. Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan A bisa
dikatakan melanggar etika.
Perbedaan juga terdapat persamaan diantara keduanya
yaitu; 1) sama-sama menyangkut perilaku manusia; 2) etika maupun etiket
mengatur perilaku manusia secara normatif. Artinya, memberi norma bagi perilaku
manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan. Justru karena sifat normatif ini kedua istilah tersebut mudah
dicampuradukkan.
Dalam masyarakat tradisional, nilai dan norma tidak
pernah dipersoalkan, secara otomatis masyarakat menerima nilai dan norma yang
telah berlaku. Namun, setiap saat nilai dan norma tersebut dapat berkembang
kearah yang baru, adanya mobilitas lateral yang dialami oleh masyarakat, juga
karena arus globalisasi yang semakin tak bisa terelakkan. Banyak nilai dan
norma etis berasal dari agama, tidak bisa diragukan bahwa agama merupakan
sumber nilai dan norma sangat penting.
Kebudayaan pun merupakan sumber lain. Walaupun
kebudayaan sering kali dilepaskan dari agama. Selain kebudayaan, kerangka hidup
bersama/nasionalisme bisa menjadi sumber nilai dan norma kebudayaan.
Memandang situasi etis dalam dunia modern seperti
saat ini, banyak sekali perilaku yang seharusnya masuk pada ruang lingkup
moral, mereka banyak berargumentasi mengenai hal-hal yang dianggap melanggar
etika (moral). Kita lihat dari beberapa contoh yang saat ini banyak terjadi.
Misalnya, seiring dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi khusunya ilmu-ilmu biomedis. Terdapat berbagai
penemuan-penemuan yang bisa jadi dianggap sangat mengagumkan, namun disisi lain
bisa dikatakan sangat bertentangan atau melanggar dengan etika (moral) yang
telah dijadikan patokan juga panutan oleh masyarakat luas.
Apa kita boleh memanipulasi kehidupan manusia,
seperti bayi tabung yang spermanya diambil dari orang lain yang tidak ada
ikatan pernikahan yang sah, kemudian
bereksperimen dengan embrio, rekayasa genetik. Segala permasalahan
tentang penciptaan manusia super sangatlah mengandung unsur etis (moral) dalam
kehidupan manusia. Juga masalah eutanasia; tindakan mengakhiri dengan sengaja
kehidupan makhluk (orang maupun hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah
dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Menurut perspektif saya, semua hal tersebut
melanggar nilai-nilai dan norma yang telah diajarkan kepada kita sebagai
manusia.
Agama mengajarkan kita bagaimana berbuat baik namun
dengan cara yang benar, benar menurut nilai dan norma agama. Bagaimana sikap
kita seharusnya menghadapi perkembangan yang seperti ini? Situasi moral dunia
modern ini mengajak kita untuk mendalami studi etika, hal ini bisa dijadikan
salah satu cara yang memberi prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita
hadapi sekarang.
Menempuh cara hidup yang etis berarti
mempertanggungjawabkan perilaku kita berdasarkan alasan-alasan, artinya
berdasarkan rasio. Melalui jalan rasional perlu kita bersama-sama diskusi mencari
kesepakatan dibidang moral
A.
Manusia
Manusia itu hakekatnya adalah makhluk sosial,
mempunyai keinginan untuk hidup bermasyarakat dengan manusia-manusia lain.
Artinya setiap manusia mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan
hubungan satu sama lain sesamanya.
Kumpulan atau persatuan manusia-manusia yang saling
mengadakan hubungan satu sama lain dinamakan “masyarakat”
Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh
dibawah pengampuan dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya,
walinya, atau pengampunya. Sedangkan penyelesaian hutang piutang orang yang
dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan.
Sebagai negara hukum, Negara Indonesia mengakui
setiap orang sebagai manusia terhadap undang-undang artinya bahwa setiap orang
diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang.
B.
Etika
Etika (Etimologik), berasala dari kata Yunani
“Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum Bahasa
Indonesia yang baru, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) 2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3) nilai mengenai dasar
dan salah yang di anut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut:
Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
laku. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, etika
mempunyai arti lagi ilmu tentang baik dan buruk.
Objek etika (menurut Franz Von Magnis) adalah
pernyataan moral. Apabila diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya dua
macam: pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia
sendiri atau tentang unsur-unsur pribadi manusia seperti maksud dan watak.
C.
Moral
Moral berasal dari kata latin “Mos” yang dalam
bentuk jamaknya “Mores” yang berarti adat atau cara hidup.
Moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai
arti yang pada dasarnya sama dengan moral. Hanya ada nada lebih abstrak. Kita
berbicara tentang moralitas suatu perbuatan artinya segi moral suatu perbuatan
atau baik buruknya,. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan
nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
1. Moral dan agama
Tidak bisa disangkal, agama mempunyai hubungan erat
dengan moral. Setiap agama mengandung suatu ajaran moral. Ajaran moral yang
terpendam dalam suatu agama dapat dipelajari secara kritis, metodis, dan
sistematis dengan tetap tinggal dalam konteks agama itu.
Ajaran moral yang terkandung dalam suatu agama
meliputi dua macam peraturan. Di satu pihak ada macam-macam peraturan yang
kadang-kadang agak mendetail tentang makanan yang haram, puasa, ibadat, dan
sebagainya. Peraturan seperti itu sering berbeda dengan agama yang
berlain-lainan. Di lain pihak ada peraturan etis lebih umum yang melampaui
kepentingan agama tertentu saja, seperti: jangan membunuh, jangan berdusta,
jangan berzina, jangan mencuri.
Bila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada
umumnya ia berkhotbah, artinya ia berusaha memberikan motivasi serta inspirasi,
supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya
berdasarkan iman.
2. Moral dan hukum.
Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan
agama, demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang
hubungan ini dari segi hukum. Hukum membutuhkan moral. Dalam kekaisaran Roma
sudah terdapat pepatah Quid leges sine moribus?” Apa artinya undang-undang jika
tidak disertai dengan moralitas?”Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak
dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum
sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum selalu diatur
dengan norma moral. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan
mengawang-awang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dan
moralitas.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian
sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang ada.
D.
Agama
Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya
tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau
tujuan tertentu. Religio [dari religere, Latin] artinya mengembalikan ikatan,
memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk
mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan
pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu
kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan
masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan
masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama
agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai
merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar
manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi
sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau memperoleh keselamatan [dalam
arti seluas-luasnya] secara pribadi dan masyarakat.
Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil
budaya. Artinya, manusia membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan
perkembangan budaya serta peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk
penyembahan kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan
lain-lain] merupakan unsur-unsur kebudayaan. Dengan demikian, jika manusia
mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka
agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan
ritus, nyanyian, cara penyembahan [bahkan ajaran-ajaran] dalam agama-agama
perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan perubahan sosio-kultural masyarakat.
Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama
diturunkan TUHAN Allah kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia
menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar; ada juga
yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk menyembah TUHAN
Allah yang telah mengasihinya. Dan masih banyak lagi pandangan tentang agama,
misalnya,
1. Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya
TUHAN, dewa, Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta
berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban
yang bertalian dengan kepercayaan tersebut
2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan
manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan
serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan
kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya
3. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa
dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum TUHAN tersebut diwahyukan kepada manusia
melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih
secara khusus oleh TUHAN sebagai pembawa agama.
-->
Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum
keagamaan diturunkan TUHAN [kepada manusia] untuk kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan akhirat
Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk
mengenal dan menyembah Ilahi [yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta
kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan
dengan berbagai ritus [secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi.
Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia
terhadap penyataan TUHAN Allah. Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu
mengenal TUHAN Allah, maka Ia menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar
mereka mengenal dan menyembah-Nya. Jadi, agama datang dari manusia, bukan TUHAN
Allah. Makna yang khusus inilah yang merupakan pemahaman iman Kristen mengenai
Agama.
E.
Hukum
Sebagaimana didefinisikan dalam oxford english
dictionary, hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan
formal maupun dari kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat tertentu
mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subjeknya.
Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari
masyarakat) pada dasarnya berlaku untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta
ketentraman dan ketertiban. Pada dasarnya hukum bertujuan untuk mencapai
kepastian hukum, yaitu untuk mengayomi masyarakat secara adil dan damai
sehingga mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat.
Istilah –istilah dan pengertian dalam ilmu hukum:
1. Subjek hukum
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan Bahasa
Belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rectsubject
diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
Subject hukum memiliki kedudukan dan peranan yang
sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena
subject hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum.
2. Objek hukum
Selain subjek hukum, dikenal objek hukum sebagai
lawan dari subjek hukum. Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi
subjek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek)
suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Objek hukum biasanya disebut juga dengan benda atau segala
sesuatu yang dibendakan. Pengertian benda secara yuridis adalah segala sesuatu
yang dapat dihaki atau menjadi objek hak milik (Pasal 499 BW).
Oleh karena itu yang dimaksud dengan benda menurut
undang-undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat
dimiliki orang. Maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah
termasuk pengertian benda (menurut BW) seperti bulan, matahari, bintang, laut,
dan lain-lain.
3. Lembaga hukum
Lembaga hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hukum
yang mengandung beberapa persamaan atau bertujuan mencapai suatu objek yang
sama. Oleh karena itu ada humpinan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
mengenai perkawinan “ lembaga hukum perkawinan” himpunan peraturan-peraturan
yang mengatur tentang perceraian dinamakan “lembaga hukum perceraian”, demikian
seterusnya. Dengan demikian dalam hukum positif terdapat banyak sekali
lembaga-lembaga hukum itu seperti lembaga hukum jual beli, tukar menukar, dan
sebagainya, yang tidak hanya diatur dalam hukum perdata barat, melainkan
terdapat dalam hukum adat maupun hukum islam.
4. Asas hukum
Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan
diperlukan asas hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap
perilaku manusia di dalam masyarakat. Asas hukum merupakan pokok pikiran yang
bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang kongkrit (
hukum positif ).
Asas-asas hukum yang diperlukan bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dapat dibedakan ke dalam:
a. Asas hukum yang menentukan politik hukum.
b. Asas hukum yang menyangkut proses pembentukan
peraturan perundang-undangan.
c. Asas hukum yang menyangkut aspek-aspek
formal/struktural/organisatoris/dari tata hukum
nasional.
d. Asas hukum yang menentukan ciri dan jiwa tata
hukum nasional.
e. Asas hukum yang menyangkut substansi peraturan
perundang-undangan.
Beberapa macam asas hukum nasional dijelaskan
sebagai berikut: asas manfaat, asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas
demokrasi, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, asas
kesadaran hukum, asas kepercayaan pada diri sendiri.
. PENGERTIAN HATI NURANI
Hati
nurani dalam bahasa arab di sebut dlamir atau wijdan sedang dalam bahasa
inggris di sebut dengan conscience. kata consciece diterjemah balik maka
artinya menjadi suara hati, kata hati atau hati nurani. Berdekatan dengan kata
conscience, ada kata conscious. Conscious artinya sadar, berkesadaran, atau
kesadaran. Disamping kedua kata ini, ada satu lagi yang berdekatan maknanya
yaitu intuition, intuition artinya gerak hati, lintasan hati, gerak batin.
Consciece sama dengan Conscience is an ability or a
faculty that distinguishes whether one’s actions are right or wrong. It leads
to feelings of remorse when one does. Hati nurani adalah kemampuan yang membedakan
apakah salah satu dari tindakan apakah benar atau salah. The moral sense of
right and wrong, chiefly as it affects one’s own behaviour; Consciousness;
thinking; awareness, especially self-awareness. Rasa moral tentang yang benar
dan yang salah, terutama karena akan mempengaruhi tingkah laku sendiri;
Kesadaran; berpikir; kesadaran, terutama kesadaran diri. Kesadaran juga berarti
peran kognitif diri yang memperjelas secara sadar di mana diri kita saat ini
dan bagaimana situasi lingkungan kita. Kajian-kajian yang mendalam tentang hal
ini dapat kita telusuri lebih jauh terutama di dalam sains psikologi.
Maka Hati nurani adalah suatu kekuatan dalam hati
seseorang yang selalu memberikan penilaian benar dan salahnya atau baik dan
buruknya atau perbuatan yang akan di lakukan. Hati nurani merupakan penerapan
kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia dalam situasi
konkret. Suara hati menilai suatu tindakan manusia benar atau salah , baik atau
buruk. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat
keliru. Dalam hati, manusia sebelum bertindak atau melakukan sesuatu , ia sudah
mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa ada yang baik dan ada yang
buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut, walaupun kadar kesadarannya
berbeda – beda.
Pada saat-saat menjelang suatu tindakan etis, pada
saat itu kata hati akan mengatakan perbuatan itu baik atau buruk. Jika
perbuatan itu baik, kata hati muncul sebagai suara yang menyuruh dan
jikaperbuatan itu buruk, kata hati akan muncul sebagai suara yang melarang.
Kata hati yang muncul pada saat ini disebut prakata hati. Pada saat suatu
tindakan dijalankan, kata hati masih tetap bekerja, yakni menyuruh atau
melarang. Sesudah suatu tindakan, maka kata hati muncul sebagai “hakim” yang
memberi vonis. Untuk perbuatan yang baik, kata hati akan memuji, sehingga
membuat orang merasa bangga dan bahagia. Namun, jika perbuatan itu buruk atau
jahat, maka kata hati akan menyalahkan, sehingga, orang merasa gelisahs, malu,
putus asa, menyesal.
FUNGSI HATI NURANI
Fungsi hati nurani adalah sebagai pegangan, pedoman
atau norma untuk menilai suatu tindakan, apakah tindakan itu baik atau buruk.
Hati nurani berfungsi sebagai pegangan
atau peraturan-peraturan konkret di dalam kehidupan sehari-hari dan menyadarkan
manusia akan nilai dan harga dirinya. Sikap kita terhadap hati nurani adalah
menghormati setiap suara hati yang keluar dari hati nurani kita. Mendengarkan
dengan cermat dan teliti setiap bisikan hati nurani. Mempertimbangkan secara
masak dan dengan pikiran sehat apa yang dikatakan hati nurani dan melaksanakan
apa yang disuruh hati nurani.
B. HATI
NURANI SEBAGAI FENOMENA MORAL
1.
Pendekatan Naratif
Setiap
manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan
perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit untuk
menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan
dimensi etis dalam hidup kita. Karena itu pengalaman tentang hati nurani itu
merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika. Dalam suatu
pendekatan naratif kita mulai dengan memandang tiga contoh yang berbeda tentang
pengalaman hati nurani yang dipilih dengan cara demikian, sehingga dapat
dipakai dalam analisis selanjutnya. Mudah-mudahan contoh-contoh ini sesuai
dengan pengalaman pribadi kita tentang hati nurani.
¥ Seorang
hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting.
Malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu
menawarkan sejumlah besar uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya.
Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan
dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak,
sehingga tidak bisa lain daripada penerima penawaran itu. Ia telah memutuskan
terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian
ini sangat menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya
ke luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidamkan oleh istrinya. Namun
demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah
“malu” terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu akan
diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu.
Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan
pernah diketahui oleh orang lain. Namun, kepastian ini tidak bisa menghilangkan
kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai
sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang
luhur ini.
¥ Thomas
Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir
15 tahun ia bekerja penuh semangat dalam usaha pengembangan dan pembangunan
generator neutron. Sedemikian besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa
akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan
senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu,
khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee,
berjudul A Study of History, kalimat berikut ini: “Bila orang mempersiapkan
perang, sudah ada perang”. Baru pada saat itu ia menyadari, ia sedang
memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan
sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiannya memberontak
terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Ia membicarakan kegelisahan
batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi finansial,
bila ia berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Tentu ia menyadari
juga, bila ia keluar, tempatnya akan diisi oleh orang lain yang akan
melanjutkan pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya tidak efektif sama
sekali. Bagaimanapun, Grissom memutuskan ia tidak bisa bekerja lagi untuk industri
persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada Evergreen State College di Olympia,
Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya
di laboratorium Nasional.
¥ Pada awal
Bhagavad Gita kita menemukan suatu contoh bagus tentang konflik batin yang
berlangsung dalam hati nurani. Dalam sebuah kereta berkuda Arjuna menuju ke
tempat pertempuran bersama Khrisna yang bertindak sebagai saisnya. Tapi
setibanya di tempat tujuan ia melihat sanak saudara, guru-guru dan sahabat-sahabat
di antara tentara yang menjadi lawannya. Melihat keadaan itu, “rasa sedih dan
putus asa memenuhi hatinya”. Ia tidak tega berperang melawan kerabat dan orang
yang akrab dengannya. “Saya tidak mau membunuh mereka, sekalipun saya sendiri
akan dibunuh”. Busur saktinya terjatuh dari tangannya dan ia sendiri rebah
dalam kereta, hatinya dilimpahi keputusan dan kesedihan. Usaha Khrisna untuk
membesarkan hatinya tidak sedikitpun dapat mengubah sikapnya. “Setelah mereka
mati, masakan kita ingin hidup lagi?”. Dan dengan tegas ia putuskan: “Saya
tidak akan berperang, Khrisna”.
C.
KESADARAN HATI NURANI
Apa itu
hati nurani? Secara sangat umum dapat dikatakan, hati nurani adalah “instansi”
dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita, secara
langsung, kini, dan di sini. Dengan “kata nurani” kita maksudkan penghayatan
tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati
nurani ini memerintahkan atau memelarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan
di sini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang
sangat konkret. Tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan
integritas pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita.
Dapat
dikatakan juga, hati nurani adalah kesadaran moral yang membuat kita menyadari
baik atau buruk (secara moral) dalam perilaku kita dan karena itu dapat
menyuluhi dan membimbing perbuatan-perbuatan kita di bidang moral. Dengan
demikian hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai
kesadaran. Untuk mengerti hal ini perlu kita bedakan antara pengenalan dan
kesadaran. Kita mengenal, bila kita melihat, mendengar atau merasa sesuatu.
Tapi pengenalan ini tidak merupakan monopoli manusia. Seekor binatang pun bisa
mendengar bunyi atau mencium bau busuk dan karena itu bisa mengenal. Malah ada
binatang yang dalam hal pengenalan indrawi lebih unggul daripada manusia. Tapi
hanya manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan
manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang
dirinya. Manusia bukan saja melihat pohon di kejauhan sana, tetapi ia menyadari
juga bahwa dialah yang melihatnya.
Di kebun binatang pernah terdengar seorang anak
kecil, berumur sekitar empat tahun, bertanya kepada ibunya :”Mami, apakah gajah
itu tahu bahwa dia seekor gajah?” tanpa disadarinya, dengan itu ia mengemukakan
suatu pertanyaan filosofis yang amat mendalam artinya. Kepada filsuf cilik ini
harus dijawab: gajah tidak tahu. Seekor binatang tidak berfikir atau berefleksi
tentang dirinya sendiri. Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dalam diri manusia
bisa berlangsung semacam “penggandaan”: ia bisa kembali kepada dirinya. Ia bisa
mengambil dirinya sendiri sebagai objek pengenalannya. Jadi, penggandaan di
sini ialah bahwa dalam proses pengenalan bukan saja manusia berperan sebagai
subjek, melainkan juga sebagai objek.
Untuk
menunjukkan kesadaran, dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan
daripadanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire
(mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian
conscentia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada
gejala “penggandaan” yang disebut tadi: bukan saja saya sendiri sebagai subjek
yang melihat. Bah, kata conscientia yang sama dalam bahasa latin (dan
bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati
nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Bukan
saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau
buruk), tetapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan
moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi
moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan
moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata latin
conscientia.
Fenomena
hati nurani sebetulnya terdapat di segala zaman dan dalam semua kebudayaan.
Tapi dulu sering kali belum tersedia istilah jelas untuk menunjukkan fenomena
itu. Dalam teks-teks kuno seperti Kitab Suci Perjanjian Lama atau Bhagavad Gita
tidak ada suatu istilah untuk hati nurani, tapi fenomena yang dimaksud
dengannya di situ sudah dikenal, sebagaimana terbukti dalam contoh ketiga yang
diberikan di atas. Istilah “hati nurani” itu mempunyai sejarah berbelit-belit
yang tidak perlu ditelusuri di sini.”
D.
MACAM-MACAM HATI NURANI
Dapat
dibedakan menjadi dua macam hati nurani yaitu: hati nurani retrospektif dan
prospektif.
1. Hati
nurani retrospektif
Apabila seseorang membuat keputusan-keputusan dan
melaksanakan putusan tersebut atau bertindak, biasanya orang berpikir ulang
atau membuat semacam penilaian terhadap apa yang telah dilakukan tersebut.
Apabila seseorang bertindak yang tidak etis dan bertentangan dengan hati
nuraninya, sudah tentu setelah bertindak orang tersebut akan menyadari bahwa
tindakannya tersebut tidak benar, dan menyesalinya. Jadi dapat dikatakan atau
disimpulkan bahwa hati nurani seseorang atau batin seseorang memberikan penilaian-penilaian
terhadap perbuatannya sendiri yang telah lamapu. Setelah seseorang bertindak,
untuk menilai tindakan tersebut orang menggunakan hati nuraninya.
Hati nurani retrospektif memberi penilaian tentang
perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini
seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah
lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak
baik. Contoh pertama pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati
nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek
dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik.
Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita
tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Bila kata hati menghukum dan menuduh kita, kita
merasa gelisah dalam batin atau seperti dikatakan dalam bahasa inggris kita
mempunyai a bad conscience. Sebaliknya, bila kita telah bertingkah laku baik,
kita mempunyai a bad conscience atau a clear conscience. Misalnya, bila saya
tanpa pamrih telah menyelamatkan seorang anak yang terjerumus dalam sungai.
Bahkan dengan mengambil risiko untuk kehidupan saya sendiri, saya merasa puas.
Bukan saja karena usaha yang penuh risiko itu berhasil, melainkan juga karena
telah saya lakukan yang harus saya lakukan. Saya telah memenuhi kewajiban saya.
Karena itu hati nurani saya dalam keadaan tenang dan puas, saya mengalami suatu
kedamaian batin.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa hati nurani dalam
keadaan gelisah merupakan fenomena yang paling mendasar. Itulah menurut mereka
hati nurani dalam arti yang sebenarnya. Di sini tampak dengan paling jelas
dampak dan tuntutan moralitas atas seseorang. Menurut pendapat filsuf
Jerman-Amerika, Hannah Arendt (1906-1975, umpamanya, hati nurani dalam keadaan
tenang hanya berarti tiadanya hati nurani yang gelisah maksudnya, hati nurani
sebagai instansi yang menilai terutama bertindak negatif: mengecam dan mencela.
Hati nurani yang tenang dengan demikian dihasilkan karena dibebaskan dari
segala tuduhan. Bisa dipertanyakan apakah konsepsi serupa itu tidak tuduhan.
Bisa dipertanyakan apakah konsepsi serupa itu tidak terlalu ekstrem. Memang
benar, biasanya hati nurani terutama mencela. Hati nurani dialami paling jelas, kalau menggerogoti ketenangan
jiwa kita. Tapi sulit untuk disangkal bahwa hati nurani juga langsung bisa
memuji kita, bila bertingkah laku baik. Karena itu kami tidak begitu yakin
bahwa pendapat Hannah Arendt itu benar.
2. Hati
nurani prospektif
Sebelum orang membuat keputusan dan bertindak,
biasanya ia juga menilai dan mempertimbangkan terhadap apa yang akan diputuskan dan dilakukan dengan
menggunakan hati nurani atau suara batinnya. Dengan kata lain, batin akan menilai
perbuatan-perbuatan seseorang mendatang. Sebelum orang bertindak, batin
memberikan pertimbangan-pertimbangan. Inilah yang dimaksud dengan hati nurani
prospektif. Pertimbangan itu terwujud dalam bentuk larangan untuk berbuat jelek, dan anjuran untuk berbuat
baik. Oleh sebab itu, hati nurani prospektif adalah tuntunan seseorang untuk
berperilaku sesuai dengan kondisi-kondisi psikologis dan sesuai kondisi rill di
sekitarnya.
Hati nurani prospektif melihat ke depan dan menilai
perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak
kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih banyak terjadi
mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun rupanya
aspek negatif lebih mencolok. Dalam arti ini hati nurani prospektif menunjuk
kepada hati nurani retospektif yang akan datang, jika perbuatan menjadi
kenyataan. Contoh ketiga tentang Arjuna-biarpun istilah ”hati nurani” dalam
Bhagavad Gita tidak disebutkan eksplisit-menunjukkan hati nurani prospektif.
Sedangkan contoh kedua tentang ahli fisika amerika memberikan semacam campuran
antara hati nurani porpektif dan retrospektif. Tadinya Grissom tidak pikirkan
bahwa pekerjaannnya sebenarnya imoral, tapi pada ketika ia menjadi sadar ia
merasa dihukum oleh hati nuraninya tentang pekerjaannya sampai sekarang dan ia
tidak tega melanjutkannya. Pada saat ia menjadi sadar, hati nuraninya
menyangkut masa lampau maupun masa depan.
Pembedaan antara hati nurani retrospektif dan hati
nurani prospektif ini bisa menampilkan kesan seolah-olah hati nurani hanya
menyangkut masa lampau atau masa depan. Padahal, hati nurani dalam arti yang
sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan kini dan disini.
Hati nurani terutama adalah concience, ”turut mengetahui”, pada ketika
perbuatan berlangsung. Dalam perbuatan itu sendiri sipelaku telah
mengalami-atas dasar hati nurani-bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik
atau buruk. Ketika si hakim menerima uang suap (contoh satu), ia sudah
mengalami bahwa perbuatannya tidak terpuji. Tapi kemudian hati nurani tidak diam,
tapi sebaliknya justru menuduh dia serta mengganggu ketenangan batinnya. Jadi,
keadaan gelisah itu berawal dari perbuatannya dan ketika Arjuna (contoh ketiga) memutuskan
”saya tidak mau berperang, Khrisna”, maka dalam keputusan itu desakan hati
nurani justru mencapai puncaknya, tapi sudah disiapkan sebelumnya sebagai hati
nurani porpektif. Dapat disimpulkan bahwa hati nurani terutama berbicara dalam
suatu orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan: ke perbuatan
yang sudah berlangsung atau ke perbuatan yang akan berlangsung lagi.
E. SIFAT
HATI NURANI
Hati
nurani bersifat personal artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi
bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita dan saya terima dalam hidup sehari-hari
dan seolah-olah melekat pada pribadi saya akan tampak juga dalam ucapan-ucapan
hati nurani saya. Sepertii kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama
begitu pula tidak ada dua hati nurani yang persis sama. Hati nurani diwarnai
oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan
perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah
banyak pengalaman hidup tentu hati nuraninya bercorak lain ketika masih masa
remaja. Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal
artinya hati nurani hanya berbicara atas nama saya. Hati nurani hanya memberi
penilaiannya tentang perbuatannya sendiri.
Penelitian Laborarium Nasional Amerika dalam contoh
kedua barang kali akan mempertanyakan keterlibatan siapa saja dalam penelitian
mengenai persenjataan nuklir, tapi hati nuraninya hanya berbicara tentang
dirinya saja. Mustahillah seseorang mengatakan: ”hati nurani saya mengatakan
bahwa Anda tidak boleh melakukan itu”. Memang benar, bila kita menilai orang
lain atau menjadi penasihat bagi orang lain, mungkin akan kita simak apa yang
dikatakan hati nurani kita , seandainya kita sendiri menghadapi keadaan yang
sama seperti dihadapi oleh orang itu. Walaupun begitu, hati nurani tidak
memberikan penilaiantentang perbuatan orang lain. Kita hanya memperhatikan
norma –norma dan cita-cita yang diikuti oleh hati nurani kita.
Tapi integritas pribadi kita akan merasa diperkosa,
bila orang lain melakukan apa yang menurut kita tidak boleh.tidak jarang dapat
didengar atau dibaca ungkapan seperti ”hati nurani bangsa”,”hati nurani kaum
cendikiawan”. Sebuah surat kabar harian terbitan Ibu Kota menyandang semboyang:
”Amanat Hati Nurani Rakyat”. Apakah cara bicara itu hanya kiasan atau
sungguh-sungguh terhadap suatu hati nurani dalam arti yang sebenarnya selalu
berkaitan dengan pesona tertentu. Hati nurani hanyabisa bicara atas nama
seorang pribadi. Ungkapan seperti ”hati nurani bangsa” memang hanya bersifat
kiasan.
Disamping aspek persoalan, hati nurani menunjukkan
juga suatu aspek adipersonal. Selain bersifat pribadi, hati nurani juga
seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi diatas kita.
Aspek ini tampak dalam istilah “hati nurani”itu sendiri. “Hati Nurani” berarti
“hati yang diterangi”(nur=cahaya). Dalam pengalaman mengenai hati nurani
seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Aspek yang
sama tampak juga dalam nama-nama lain yang sering dipakai dalam bahasa
Indonesia untuk menunjukkan hati nurani: suara hati nurani, kata hati, suara
batin. Rupanya justru aspek ini sangat mengesankan, hingga terungkap dalam
begitu banyak nama. Terhadap hati nurani, kita seakan-akan membuka diri
terhadap suara yang datang dari luar. Hati nurani mempunyai suatu aspek
transenden, artinya, melebihi pribadi kita.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragam kerap
kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara
melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat dapat dibenarkan. Bagi orang
beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil
keputusan atas dasar hati nurani artinya, kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa
ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas
pribadinnya, maka ia akan mengambil keputusannya”dihadapan Tuhan”. Ia insaf
dengan itu akan mentaati kehendak Tuhan. Dan sebaliknya, bertindak bertentangan
dengan hati nurani tidak saja seperti menghianati dirinya sendiri, tapi
serentak juga melanggar kehendak Tuhan.
Mungkin bagi orang beragama malah tidak ada cara
lebih jelas untuk menghayati hubungan erat antara moralitas dan agama daripada
justru pengalaman hati nurani ini. Akan tetapi, adalah naif sekali, bila orang
berpikir bahwa melalui hati nurani Tuhan berbisik-bisik dalam batin kita. Dan
bukan saja anggapan semacam itu naif, tapi juga berbahaya. Banyak orang
beragama yang fanatik telah mengatakan bahwa tindakan mereka atas perintah
Tuhan , sedangkan bagi masyarakat luas tindakan itu tidak lain dari kejahatan
atau terorisme. Banyak pembunuhan dan kejahatan lain telah dilakukan dengan
dukungan hati nurani.
Tapi kalau begitu, hati nurani disalahgunakan.
Seperti akan dijelaskan lagi hati nurani tidak akanmelepaskan kita dari
kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan
kita secara obyektif.. apalagi, orang yang tidak mengakui adanya Tuhan pun
memiliki hati nurani yang mengikat mereka sama seperti orang beragama. Tidak
dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja.
Setiap orang mempunyai hati nurani
karena ia manusia. Kenyataan itu justeru menyediakan landasan untuk mencapai
persetujuan dibidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaan
mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dan lain-lain.
F. HATI
NURANI SEBAGAI NORMA MORAL YANG SUBJEKTIF
Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah
hati nurani termasuk perasaan, kehendak atau rasio. Sekarang kita sudah
menyadari bahwa persoalannya sebetulnya tidak boleh dirumuskan dengan cara
begitu. Dalam filsafat dewasa ini sudah terbentuk keyakinan bahwa manusia tidak
bisa dipisahkan ke dalam pelbagai fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari
kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan tapi tidak boleh
dipisahkan. Dalam hati nurani pula memainkan peranan baik perasaan mau pun
kehendak maupun juga rasio. Tapi terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat
untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio.
Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu
penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan : ini baik dan
harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan
jelas merupakan suatu fungsi dari rasio. Tapi dalam hal ini perlu dibedakan
antara dua macam rasio : rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis
memberi jawaban atas pertanyaan : apa yang dapat saya ketahui? Atau juga :
bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas? Dengan demikian rasio dalam arti
ini merupakan sumber pengetahuan, termasuk juga ilmu pengetahuan. Sedangkan
rasio praktis terarah pada tingkah laku manusia. Rasio praktis memberi jawaban
atas pertanyaan : apa yang harus saya lakukan? Dengan itu rasio praktis memberi
penyuluhan bagi perbuatan-perbuatan kita. Kalau rasio teoretis bersifat
abstrak, maka rasio praktis justru bersifat konkret. Jati nurani juga sangat
konkret sifatnya dan mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan
di sini. Putusan hati nurani “mengkonkretkan” pengetahuan etis kita yang umum.
Pengetahuan etis kita (prinsip-prinsip moral yang kita pegang dan nilai-nilai
yang kita akui) hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret. Hati
nurani seolah-olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita
yang umum dengan perilaku konkret.
Biarpun putusan hati nurani bersifat rasional, itu
tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan
hati nurani pada umumnya bersifat intuituf, artinya langsung menyatakan : ini
baik dan terpuji atau itu buruk dan tercela. Pemikiran intuituf berlangsung “bagaikan
tembakan” : langsung , satu kali tembak, tidak menurut tahap-tahap perkembangan
seperti dalam sebuah argumentasi. Namun demikian, kadang-kadang putusan hari
nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada suatu argumentasi,
terutama hati nurani prospektif. Dalam contoh ketika Arjuna seolah-olah
membentuk suatu penalaran. Ia mulai dengan mempertimbangkan prinsip umum bahwa
membunuh kerabat dan orang yang dekat dengannya tidak boleh. Lantas ia melihat
situasi yang dihadapinya : ia harus bertempur melawan sanak saudara dan bekas
guru-gurunya yang sangat berjasa baginya. Dan akhirnya ia sampai pada
kesimpulan : “saya tidak akan berperang”. Tapi sebetulnya kesimpulan itu
sendiri bersifat intuituf juga, walaupun sudah dipersiapkan sebelumnya.
Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi
setiap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam
putusan hati nurani seseorang. Tidak boleh terjadi, seorang dipaksa untuk
bertindak bertentangan dengan hati nuraninya. Maka tidak mengherankan, bila
dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebut juga
“hak atas kebebasan hati nurani” (Pasal 18). Konsekuensinya bahwa negara harus
menghormati putusan hati nurani para warganya, bahkan kalau kewajiban itu menimbulkan
konflik dengan kepentingan lain. Dengan kata lain, negara harus menghormati hak
dari conscientious objector : orang yang berkeberatan memenuhi suatu kewajiban
sebagai warga negara karena alasan hati nurani. Contoh terkenal adalah konflik
yang sering dialami di negara-negara yang mempraktikkan wajib militer. Di sana
tidak jarang ada orang muda yang menolak untuk memenuhi wajib militer dengan
alasan hati nurani. Misalnya, mereka menandaskan bahwa suara hati nurani
melarang mereka ikut serta dalam latihan-latihan militer yang bertujuan
membunuh sesama manusia. Dalam kasus semacam itu negara menghadapi dilema yang
tidak mudah: menjalankan tugas-tugas pertahanan nasional dengan baik atau
menghormati hati nurani para warga negara. Dulu orang seperti itu diadili dan
divonis beberapa tahun di penjara. Dengan demikian kepentingan nasional
mengalahkan hak pribadi. Filsuf dan pengarang besar dari Inggris, Bertrand
Russell (1872 – 1970), di masa mudanya masih sempat menjadi korban dari konflik
kepentingan serupa itu. Ketika pada saat Perang Dunia I a memprogandakan
pasifisme dan menolak masuk dinas militer Inggris, ia dipecat sebagai dosen
Universitas Cambridge dan dipenjarakan beberapa bulan. Tapi sekarang kebanyakan
negara modern mengakui hak orang muda untuk menolak masuk tentara karena alasan
hati nurani. Hanya saja, mereka diwajibkan mengikuti suatu masa pengabdian
alternatif, misalnya, suatu tugas sosial, yang tentu waktunya lebih lama dan
imbalan finansialnya kurang, dibandingkan dengan dinas militer. Alternatif itu
harus kurang menarik secara objektif untuk mencegah terlalu banyak orang akan
menolak wajib militer dengan dalih hati nurani. Bila orang memilih alternatif
ini – membuktikan ia mengikuti hati nuraninya dengan ikhlas dan tidak mencari
alasan yang dibuat-buat. Jika dalam Bab 5 kita akan membahas masalah hak, tentu
hak untuk mengikuti hati nurani akan disebut lagi.
Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa hati
nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Malah bisa dikatakan :
dipandang dari sudut subjek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan
kita. Kita selalu wajib mengikuti hati nurani dan tidak pernah boleh kita
lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti itu hati
nurani mengikat kita secara mutlak. Namun, harus berlangsung ditambahkan,
putusan hati nurani yang merupakan norma moral terakhir bersifat subjektif dan
belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga
secara objektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan
sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara objektif perbuatan
itu buruk. Sepanjang sejarah, banyak pembunuhan dan penganiayaan dilakukan
orang fanatik atau teroris yang menganggap dirinya diwajibkan oleh suara hati.
Mungkin pembunuh Mahatma Gandhi atau Martin Luther King pun beranggapan
melakukan suatu perbuatan baik yang diperintahkan hati nurani. Padahal, semua
orang yang berpikiran sehat akan menolak pembunuhan-pembunuhan itu sebagai
kejahatan besar. Karena itu sesuatu yang sudah dikatakan sebelumnya, di sini
perlu dirinci lagi. Hati nurani memang membimbing kita dan menjadi patokan
untuk perilaku kita, tapi yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan
baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah tidaknya si pelaku.
Bila suatu perbuatan secara objektif baik, tapi suara hati menyatakan bahwa
perbuatan itu buruk, maka dengan melakukan perbuatan itu orang bersangkutan toh
secara moral bersalah. Dan, sebaliknya, orang tidak bersalah, bila suara
hatinya menyangka bahwa perbuatan tertentu baik, sedangkan secara objektif
perbuatan itu buruk. Jadi, hati nurani adalah norma perbuatan kita pertama-tama
sejauh menyangkut soal kebersalahan.
Dalam kehidupan moral pribadi peranan hati nurani
sangat penting. Manusia adalah orang yang hidup baik (secara moral) bila ia
selalu hidup menurut hati nuraninya. Namun, bukan sembarang hati nurani patut
membimbing hidup moral kita, tapi hanya hati nurani yang dididik dengan baik.
Manusia bukan saja wajib untuk selalu mengikuti hati nuraninya, ia wajib juga
mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang
dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan
subjektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas moral objektif dari perbuatannya.
Pada orang serupa itu, yang baik secara subjektif akan sama dengan yang baik
secara objektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaan
ideal itu bisa dicapai.
G.
PEMBINAAN HATI NURANI
Tidak
sedikit filsuf mencurigakan ajaran tradisional tentang hati nurani, justru
karena hati nurani bersifat subjektif. Kecurigaan ini terutama ditemukan pada
filsuf-filsuf yang dipengaruhi oleh cara berpikir ilmu pengetahuan empiris.
Ilmu pengetahuan empiris mempunyai sebagai cita-cita : objektivitas sempurna,
keadaan yang sedapat mungkin dilepaskan dari setiap unsur subjektif. Bagi
mereka, subjektivitas sama artinya dengan “kurang serius”, “tidak bisa
diandalkan”, “sewenang-wenang”. Pengalaman bahwa hati nurani sering tersesat,
memperkuat lagi pendapat mereka. Karena sifat subjektif itu – mereka tegaskan –
hati nurani juga mudah disalahgunakan. Hati nurani bisa menjadi kedok untuk
melakukan rupa-rupa kejahatan. Secara prinsipil tidak mungkin untuk mengecek
apakah klaim hati nurani sungguhan atau pura-pura saja, memang berasal dari
hati sanubari yang murni atau hanya bermaksud mengelabui orang lain. Kita tidak
bisa melihat ke dalam hati nurani orang lain; kita hanya tahu dengan pasti
tentang hati nurani kita sendiri, yang – sekali lagi – belum tentu benar juga.
Apalagi mereka lanjutkan, problem-problem moral pada umumnya begitu sulit dan
kompleks, sehingga ucapan subjektif dari hati nurani tidak merupakan pemandu
terpercaya yang dengan aman mengantar kita ke kebenaran etis.
Memang betul, hati nurani tidak pernah mengganti
usaha kita untuk mempelajari dengan teliti serta mendalam prinsip-prinsip dan
norma-norma moral yang harus mengarahkan tingkah laku kita. Etika sebagai ilmu
tidak menjadi mubazir dengan adanya hati nurani. Etika harus berusaha keras
untuk mencari kepastian ilmiah dan objektif tentang problem-problem moral yang
dihadapi. Tapi bagaimanapun, etika sebagai ilmu selalu bergerak pada tahap
umum. Dan, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, hati nurani justru bertugas
untuk menerjemahkan prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang umum ke dalam
situasi konkret. Karena itu peranan hati nurani selalu akan dibutuhkan. Namun,
untuk itu bukan sembarang hati nurani akan berfungsi dengan semestinya. Ada
banyak tipe hati nurani : ada yang halus dan jitu, ada pula yang longgar dan
kurang tepat, bahkan ada yang tumpul. Dalam prikiatri dibicarakan tentang moral
insanity : kelainan jiwa yang membuat orang seolah-olah “buta” dibidang etis,
sehingga tidak bisa membedakan antara baik dan buruk. Orang seperti itu tidak
normal, karena tidak mempunyai hati nurani. Ia bisa melakukan kejahatan besar,
seperti membunuh, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Orang yang menderita moral
insanity perlu diobati. Tapi biasanya terjadi bahwa hati nurani dalam keadaan
tumpul, karena salah dididik. Anak yang dididik dalam keluarga pencuri,
misalnya, hampir tidak mungkin akan mempunyai putusan hati nurani yang baik
tentang hak milik. Bagaimana keadaan hati nurani (jitu, longgar atau tumpul),
sebagian besar tergantung pada pendidikan. Hanya hati nurani yang dididik dan
dibentuk dengan baik, dapat memberikan penyuluhan tepat dalam hidup moral kita.
Hati nurani harus dididik, seperti juga akal budi
manusia membutuhkan pendidikan. Tapi pendidikan akal budi jauh lebih gampang
untuk dijalankan. Metode-metode yang seharusnya digunakan untuk mencapai hasil
optimal, dalam mendidik akal budi jauh lebih jelas. Pendidikan di sekolah
terutama bertujuan mengembangkan dan mendidik akal budi anak-anak. Memang
benar, sekarang diakui secara umum bahwa pendidikan di sekolah tidak boleh
berorientasi eksklusif intelektualistis. Dalam diri anak pun akal budi
terintegrasi dengan seluruh kepribadiannya. Namun demikian, tetap tinggal benar
juga bahwa pendidikan di sekolah secara khusus diarahkan pada akal budi. Di
sekolah mendidik terutama berarti “mencerdaskan”. Pendidikan hati nurani –
bersama dengan seluruh pendidikan moral – jauh lebih kompleks sifatnya. Dalam
sebuah buku kecil, filsuf Perancis Gabriel Madinier (1895- 1958) mengemukakan
beberapa pikiran yang pantas diperhatikan. Tempat yang serasi untuk pendidikan
moral adalah keluarga, bukan sekolah. Pendidikan hati nurani ini harus
dijalankan demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri.
Pada mulanya anak kecil hanya bisa dilatih untuk menyesuaikan diri secara
lahiriah dengan kehendak para pendidiknya. Dalam keadaan itu ketakutan akan
hukuman menjadi motivasi utama untuk mematuhi perintah orang tua. Pendidikan
selanjutnya harus menanam kepekaan batin terhadap yang baik. Seperti tujuan
akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak
didik, demikian juga dibidang moral. Anak-anak harus belajar menjalankan
kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena paksaan dari luar. Ketakutan
akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama-kelamaan harus
diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
Dalam hal ini, kata Madinier, kekuatan para orang
tua dan pengasuh lainnya ialah bahwa mereka sendiri patuh juga. Mereka tidak
memerintahkan semau-maunya, tetapi mentaati sesuatu yang melampaui kemauan
mereka sendiri. Kewajiban terhadap hukum moral mengikat semua orang. Pendidikan
moral tidak mungkin berhasil, bila para pendidik tidak menjadi panutan dalam
memenuhi hukum moral. Contoh yang baik memberi dinamika khas kepada seluruh
proses pendidikan. “Pendidikan hati nurani seolah-olah berjalan dengan
sendirinya, bilamana si anak diliputi oleh suasana yang sehat serta luhur dan
ia melihat bahwa orang di sekelilingnya memenuhi kewajiban mereka dengan
saksama dan mempraktikkan keutamaan-keutamaan yang mereka ajarkan. Jadi, kalau
secara teoretis pendidikan hati nurani lebih sulit daripada pendidikan akal
budi, pada taraf praktis hati nurani lebih sulit daripada pendidikan akal budi,
pada taraf praktis kesulitan itu kurang terasa, asal saja keluarga diliputi
iklim moral yang serasi dan menunjang. Pendidikan hati nurani tidak membutuhkan
sistem pendidikan formal, malah lebih baik berlangsung dalam rangka pendidikan
informal, yaitu keluarga. Sedangkan pendidikan akal budi sulit untuk dijalankan
diluar rangka pendidikan formal.
H. HATI
NURANI DAN SUPEREGO
Sering kali hati nurani dikaitkan dengan “Superego”,
bahkan tidak jarang kedua hal itu disamakan begitu saja. Karena itu tidak ada
salahnya, jika disini kita mempelajari juga “Superego”, walaupun dengan
demikian kita sebenarnya meninggalkan pokok pembicaraan etika dan memasuki
wilayah psikologi. Pada dasarnya pasal ini (dan dua pasal berikutnya) termasuk
apa yang sebelumnya disebut etika deskriptif dan bukan etika normatif dalam arti
sesungguhnya. Istilah “superego” berasal dari Sigmund Freud (1856 – 1939),
dokter ahli saraf Austria yang meletakkan dasar untuk psikoanalisis. Ia
mengemukakan istilah itu dalam rangka teorinya tentang struktur kepribadian
manusia. Atau lebih tepat lagi, bila dikatakan bahwa ini teorinya yang kedua
tentang struktur kepribadian, yang sejak tahun 1923 (artinya, sejak bukunya The
Ego and The Id) menggantikan padangannya yang terdahulu. Kendati bertubi-tubi
terkena kritikan, serangan dan penolakan, namun minat untuk psikoanalisis Freud
bertahan terus dan rasanya untuk seterusnya pun tidak akan hilang. Pada tahun
2000, pada kesempatan pergantian abad, majalah Amerika Times mengeluarkan
sebuah nomor khusus tentang 100 tokoh paling penting dalam abad ke – 20 dan
Freud dimasukkan didalamnya, meskipun diakui juga bahwa ia masih tetap figur
yang kontroversial dan untuk masa depan tidak bias diharapkan hal itu akan
berubah.
1.
Pandangan Freud tentang Struktur Kepribadian
Tubuh kita mempunyai struktur tertentu : ada kepala,
kaki, lengan dan batang tubuh. Psike kita juga mempunyai struktur, walaupun
tentu tidak terdiri dari bagian-bagian dalam ruang. Struktur psikis manusia
menurut Freud meliputi tiga instansi atau tiga sistem yang berbeda-beda.
Sebagaimana akan dijelaskan lagi, sistem-sistem ini memegang peranan
sendiri-sendiri dan kesehatan psikis seseorang sebagian terbesar tergantung
dari keharmonisan kerja sama diantaranyta. Ketiga instansi ini masing-masing
adalah Id, Ego, Superego.
Superego itu berhubungan erat dengan apa yang kita
sebut dalam etika dengan nama “hati nurani”. Tapi supaya hubungan itu dapat
dimengerti, perlu lebih dulu dijelaskan tentang ketiga instansi itu, satu demi
satu.
a. Id
Freud pernah mengatakan bahwa hidup psikis kita
ibarat gunung es yang terapung-apung di laut. Hanya puncaknya tampak diatas
permukaan air, tapi sebagian terbesar gunung e situ tidak kelihatan, karena
terpendam air laut. Hidup psikis manusia juga untuk sebagian terbesar tidak
tampak atau – lebih tepat – tidak sadar, namun tetap merupakan kenyataan yang
harus diperhitungkan. Itu berarti, apa yang dilakukan oleh manusia – khususnya
yang diinginkan, dicita-citakan, dikehendaki – untuk sebagian besar tidak
disadari oleh manusia itu sendiri! Freud mengintroduksikan kedalam psikologi
paham “ketidaksadaran dinamis”, artinya, ketaksadaran yang mengerjakan sesuatu
dan tidak tinggal diam. Dengan itu ia mengadakan semacam revolusi dalam
pandangan tentang manusia. Pada permulaan psikologi modern hidup psikis
disamakan begitu saja dengan kesadaran. Hal itu diwarisi oleh psikologi dari
filsuf Prancis Rene Descartes (1596 – 1650) yang dijuluki “bapak filsafat
modern” dan menjalankan pengaruh besar atas psikologi, ketika mulai berkembang
sebagai suatu ilmu tersendiri. Bagi Descartes, kegiatan psikis yang tak sadar
merupakan suatu kontradiksi, karena hidup psikis sama saja dengan kesadaran.
Sejak Freud kita tahu bahwa ada juga aktivitas-aktivitas psikis yang tidak
disadari oleh subjek bersangkutan sendiri.
Freud memakai istilah “Id” untuk menunjukkan
ketaksadaran itu. Id adalah lapisan yang paling fundamental dalam susunan
psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal
atau anonim, tidak sengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang
menguasai kehidupan psikis manusia.
Justru karena itu Freud memilih istilah “Id” (atau
bahasa aslinya “Es”) yang merupakan kata ganti orang neutrum. Tentang Id
berlaku : bukan aku (=subjek) yang melakukan, melainkan ada yang melakukan
dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah terbukti terutama dengan tiga cara.
Pertama, faktor psikis yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah mimpi.
Buku yang pertama di bidang psikoanalisis justru membahas mimpi (Penafsiran
mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku bahwa “bukan sayalah yang bermimpi tapi ada
yang bermimpi dalam diri saya”. Bila bermimpi, si pemimpi seolah-olah hanya
merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya oleh ketaksadaran.
Kedua, adanya Id terbukti juga, jika kita mempelajari perbuatan-perbuatan yang
pada pandangan pertama rupanya remeh saja dan tidak punya arti, seperti
perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo lidah”, lupa dan sebagainya. Menurut
pendapat Freud, perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tetapi berasal
dari kegiatan psikis yang tak sadar. Misalnya, ketua DPR Austria pernah membuka
siding parlemen dengan mengetok palunya sambil berkata : “Dengan ini siding
saya tutup”. Maksudnya “buka”, tapi yang dikatakannya “tutup”. Mengapa begitu?
Karena bagi sang ketua, siding hari itu terasa sangat berat. Ia ingin sekali
agar siding itu cepat selesai. Keinginan yang sadar itu mengakibatkan dia
keseleo lidah. Atau contoh dari seorang murid Freud yang lupa mengeposkan
sepucuk surat. Jika ia berefleksi tentang kejadian itu ia sampai pada
kesimpulan bahwa ia “lupa” mengeposkan suratnya, karena isinya tentang sesuatu
yang amat berat baginya. Secara tak sadar ia tidak mau mengirim surat itu dan
karenanya ia sampai “lupa”. Freud memperlihatkan bahwa perbuatan-perbuatan
semacam itu berasal dari ketaksadaran dalam bukunya Psikopatologi tentang hidup
sehari-hari (1901). Ketiga, alasan paling penting bagi Freud untuk menerima
adanya ketaksadaran adalah pengalamannya dengan pasien-pasien yang menderita
neurosis. Penyakit neurosis merupakan teka-teki medis yang besar bagi kalangan
kedokteran pada waktu itu. Dari segi fisiologis pasien-pasien itu tidak
mengidap kelainan apa-apa, namun pada kenyataannya mereka mempunyai
bermacam-macam gejala aneh, seperti tangan lumpuh, untuk beberapa waktu mata
buta, dan sebagainya. Freud menemukan bahwa neurosis disebabkan oleh
faktor-faktor tak sadar. Misalnya, wanita muda berumur 21 tahun yang menderita
histeria (histeria merupakan salah satu contoh neurosis) dan selama beberapa
waktu tidak bias minum, hingga terpaksa menghilangkan rasa hausnya dengan makan
buah-buahan. “Keadaan ini berlangsung selama kira-kira enam minggu, sampai pada
suatu hari dalam hipnosis ia menggumam tentang guru pribadinya, seoarang wanita
berkebangsaan Inggris yang tidak disukainya. Dan sambil menyatakan rasa
muaknya, dilukiskannya bagaimana pada suatu hari ia masuk kamar wanita ini dan
melihat di situ anjing kecilnya – binatang yang menjijikkan! – minum dari
sebuah gelas. Pasian tidak berkata apa-apa, karena ia mau berlaku sopan.
Setelah dengan hebat ia mengeluarkan kemarahannya yang sudah begitu lama
disimpan dalam hati, ia minta minuman, lalu minum banyak sekali air tanpa
kesulitan apa-apa dan bangun dari hipnosis dengan gelas pada bibirnya. Sesudah
itu gangguan tersebut hilang sama sekali dan tidak kembali lagi. Freud
menemukan bahwa pasien neurotis bias sembuh dengan menggali kembali trauma
psikis yang terpendam dalam ketaksadarannya.
Jika dengan Id dimaksudkan ketaksadaran, maka Id itu
secara konkret terdiri dari apa? Apakah isinya? Id terdiri dari naluri-naluri
bawaan, khususnya naluri-naluri seksual (ingat, misalnya, akan teori Freud
tentang Kompleks Oedipus) serta agresif, lagi pula keinginan-keinginan yang
direpsesi. Pada awal mula, hidup psikis manusia terdiri dari Id saja. Pada
janin dalam kandungan ibunya dan pada bayi yang baru lahir, hidup psikis untuk
seratus persen sama dengan Id. Id itu hampir tanpa struktur apapun dan secara
menyeluruh dalam keadaan kacau balau. Namun demikian, Id itulah yang menjadi
bahan dasar bagi perkembangan psikis lebih lanjut. Pada mulanya Id sama sekali
tidak terpengaruh oleh kontrol pihak subjek. Id hanya melakukan apa yang
disukai. Kata Freud : Id dipimpin oleh “prinsip kesenangan” (the pleasure
principle). Dalam Id tidak dikenal urutan menurut waktu; sebetulnya Id sama
sekali tidak mengenal waktu (timeless). Hukum-hukum logika pun tidak berlaku
untuknya. Dalam mimpi sering kali kita melihat hal-hal yang sama sekali tidak
logis. Dan hal yang sama dapat dikatakan tentang gejala-gejala neurotis.
Walaupun faktor-faktor tak sadar memainkan peranan besar dalam neurosis, perlu
ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis yang
normal dan universal. Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.
b. Ego
Ego atau Aku mulai mekar dari Id melalui kontaknya
dengan dunia luar, khususnya dengan orang yang dekat dengannya seperti orang
tua dan pengasuh. Aktivitas Ego bias sadar, prasadar mau pun tidak sadar. Tapi
untuk sebagian besar Ego bersifat sadar. Sebagai contoh aktivitas sadar boleh
disebut : persepsi lahiriah (saya melihat pohon di situ), persepsi batiniah
(saya merasa sedih) dan proses-proses intelektual. Sebagai contoh tentang
aktivitas prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali
nama yang tadinya saya lupa). Dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego
melalui mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms), misalnya, orang
yang dalam hati kecilnya sangat takut pada kenyataannya berlagak gagah berani.
Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” (the realitiy principle), kata Freud,
sebagaimana tampak dalam pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan
tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional dan mengungkapkan diri melalui
bahasa. Jadi, prinsip kesenangan dari Id di sini diganti dengan prinsip
realitas. Adalah tuga Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan
kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, lagi pula
untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan
keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa
yang mau masuk kesadaran dan apa yang dikerjakan. Akhirnya, Ego menjamin
kesatuan kepribadian atau – dengan kata lain – mengadakan sintesis psikis.
c. Superego
Superego adalah instansi terakhir yang ditemukan
Freud. Lama-kelamaan ia yakin bahwa di samping Id dan Ego masih harus diterima
suatu instansi lain yang seolah-olah bertempat diatas Ego (dan karena itu
namanya : Superego), sebab bersikap kritis terhadapnya, bahkan bisa sampai
menghantam. Mari kita mendengarkan suatu keterangan yang diberikan oleh Freud
sendiri. “Sepanjang proses terbentuknya teori analitis, mau tidak mau harus
kami akui adanya instansi lain, yang telah melepaskan diri dari Ego. Kami
menyebutnya “Superego”. Superego ini mempunyai tempat khusus di antara Ego dan
Id. Superego itu termasuk Ego, dan seperti Ego ia mempunyai susunan psikologis
lebih kompleks, tetapi ia juga mempunyai kaitan sangat erat dengan Id….
Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai
objek dan caranya kerap kali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai
hubungan baik dengan Superego seperti dengan Id. Ketidakcocokan antara Ego dan
Superego mempunyai konsekuensi besar bagi hidup psikis. Barangkali Anda sudah
menerka bahwa Superego ini merupakan dasar bagi fenomena yang kita sebut “hati
nurani”. Boleh ditambahkan lagi, superego itu secara khusus berkaitan dengan
aspek suprapersonal dari hati nurani.
Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari
Ego dalam bentuk observasi-diri, kritik-diri, larangan dan tindakan refleksi
lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri. Superego dibentuk selama
masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif
yang dialami subjek sepanjang perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil
sebagai “asing” bagi si subjek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai
sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri. Larangan, perintah, anjuran,
cita-cita dan sebagainya, yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya
orang tua), diterima sepenuhnya oleh si subjek, sehingga akhirnya terpancar
dari dalam. “Engkau tidak boleh mencuri” (larangan dari orang tua) akhirnya
menjadi “Aku harus mengembalikan barang milik orang lain”. “Anak putri tidak
boleh memanjat pohon” (teguran dari kakak) menjadi “Saya tidak boleh memanjat
pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak perempuan”.
Boleh dicatat lagi, internalisasi ini adalah
kebalikannya dari proses psikologis yang disebut “proyeksi”. Dalam proyeksi,
keadaan batin manusia diterapkan pada dunia luar. Misalnya, seorang yang
berwatak penakut di mana saja akan melihat bahaya. Bila berjalan di tempat
gelap pada malam hari ia akan melihat hantu. Yang dianggap “hantu” itu tidak
lain daripada keadaan batinnya yang diproyeksi ke luar. Atau contoh lain : penyair
bias melukiskan alam dengan menerapkan rasa batinnya padanya, sambil mengatakan
– misalnya – bahwa hutan bergembira ria. Dalam internalisasi, sebaliknya,
keadaan di luar manusia dimasukkan ke dalam batinnya.
Aktivitas Superego menyatakan diri dalam konflik
dengan Ego, yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa
menyesal, rasa malu, dan nsebagainya. Perasaan-perasaan itu tentu dapat
dianggap normal. Tapi bias terjadi juga bahwa orang sungguh-sungguh disiksa
oleh Superego, sehingga hidup normal bagi dia sudah tidak mungkin lagi. Dan
perhatian Freud diarahkan ke Superego, terutama karena pengalamannya dengan
kasus-kasus seperti itu. Nanti kita bahas lagi hal ini secara lebih mendalam.
I. HUBUNGAN
HATI NURANI DAN SUPEREGO
Teori Freud tentang struktur kepribadian tentu jauh
lebih kompleks daripada yang bias diuraikan di sini. Tapi penjelasan di atas
kiranya sudah cukup untuk mendapat gambaran sedikit tentang maksud Freud dengan
Superego. Sekarang kita sudah siap untuk menyelidiki lebih lanjut bagaimana
hubungan hati nurani dengan Superego. Apakah hati nurani bias disamakan dengan
Superego atau kedua hal itu berbeda? Dan kalau berbeda, itu berarti berbeda
sama sekali atau masih ada kaitan tertentu antara keduanya?
Menurut hemat kami, hati nurani dan Superego tidak
bias disamakan. Konteks dimana kedua paham itu dipakai sangat berbeda. Hati
nurani dipakai dalam konteks etis, sedangkan Superego berperan dalam konteks
psikoanalisis (atau dirumuskan lebih teknis : dalam konteks metapsikologis). Dalam
dua halk itu kerangka acuannya sangat berbeda.
Alasan lain yang menggagalkan setiap usaha untuk
menyetarafkan hati nurani dengan Superego ialah bahwa aktivitas Superego bisa
tak sadar : pada tahap Superego baik sumber rasa bersalah maupun rasa bersalah itu
sendiri bisa tetap tidak disadari. Sedangkan dalam konteks etis, hati nurani
tentu hanya bisa berfungsi pada tarf sadar. Peranan hati nurani dalam hidup
etis justru mengandaikan bahwa orang bersangkutan menyadari rasa bersalah dan
ia tahu juga apa sebabnya ia merasa bersalah. Taraf sadar merupakan prasyarat
supaya hati nurani bisa berfungsi dengan baik, karena selama tidak disadari
tidak mungkin ia menjadi penuntun dan penyuluh di bidang moral. Alasan ketiga
adalah bahwa cakupan Superego lebih luas daripada hati nurani, seperti akan
dijelaskan sebentar lagi.
Tentang hubungan antara hati nurani dan Superego
dapat dikatakan sebagai berikut. Sebaiknya Superego dimengerti sebagai dasar
psikologis bagi fenomena etis yang kita sebut “hati nurani” atau lebih tepat
kita katakana, sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi seperti hati
nurani yang etis. Sebab, menurut pandangan Freud, Superego bersifat lebih luas
daripada hati nurani saja. Dalam buku Pengantar baru pada psikoanalisis (1933),
salah satu buku terakhir yang ditulisnya, ia mengatakan bahwa selain hati
nuraniu Superego meliputi juga fungsi-fungsi observasi-diri dan “ideal dari
aku” (gambaran yang dipakai subjek untuk mengukur dirinya dan sebagai standar
yang harsu dikejar). Tidak ada keberatan juga untuk menerima penjelasan Freud
tentang asal-usul Superego. Bisa saja Superego terbentuk karena internalisasi
dari perintah-perintah dan larangan-larangan orangtua. Harus disetujui dengan
Freud bahwa fungsi-fungsi psikis manusia pada permulaan hidupnya praktis sama
dengan nol dan dari situ mengalami perkembangan berbelit-belit sampai akhirnya
mencapai taraf kedewasaan. Hati nurani tidak terkecuali. Banyak ahli psikologi
berpendapat bahwa Freud telah menggariskan inti perkembangan itu dengan tepat melalui teorinya tentang
internalisasi. Tapi asal-usul itu tidak mengurangi sedikitpun martabat serta
kewibawaan hati nurani. Akal budi manusia juga mengalami suatu perkembangan
kompleks, hingga akhirnya menjadi instansi yang menuntut serta membina kita
dalam mencari kebenaran. Tapi walaupun akal budi telah mengalami suatu
perkembangan panjang serta berbelit-belit, namun kebenaran tetap mengikatnya.
Demikian halnya juga dengan hati nurani. Sekalipun Superego (sebagian dasar
psikologis bagi hati nurani dalam arti etis)belum terdapat pada permulaan hidup
seorang manusia dan telah terbentuk dalam suatu proses yang kompleks, namun apa
yang berlaku bagi hati nurani tetap mengikat kita. Bila hati nurani mengatakan
: misalnya, bahwa saya tidak boleh menipu orang lain (biarpun orang tertentu
sebenarnya gampang sekali ditipu, karena sikapnya naïf), putusan hati nurani itu mengikat saya begitu saja,
terlepas dari masalah bagaimana hati nurani itu sampai terbentuk.
Suatu keberatan yang sering dikemukakan terhadap
pandangan Freud mengenai Superego adalah bahwa ia menyoroti bentuk patologis
dari hati nurani, artinya hati nurani dalam keadaan tidak normal. Sebagaimana
sudah kita lihat, Freud mengembangkan psikoanalisis dalam usahanya untuk
menyembuhkan pasien-pasien neurotis. Tidak dapat disangkal, perhatian untuk dan
pengalaman dengan pasien itu menandai seluruh karyanya. Dalam konteks itu ia
menjumpai juga rasa bersalah yang abnormal. David Jones menekankan bahwa Freud
sering kali mencampuradukkan rasa kecemasan yang patologis dengan rasa bersalah
moral. Sampai-sampai ia member kesan seolah-olah seseorang secara praktis lebih
sehat sejauh kurang “diganggu” oleh perasaan moral seperti rasa bersalah. Tapi
kesan ini tidak betul dan disebabkan karena Freud tidak membedakan dengan tajam
antara perasaan cemas yang patologis dan perasaan moral yang otentik. Freud
sendiri tidak menolak perasaan-perasaan moral. Sebaliknya, ada cukup banyak
teks dimnana ia mengucapkan niatnya untuk membebaskan pasien dari gangguan yang
dideritanya, artinya memulihkan bagi dia suatu kehidupan moral yang sehat.
Diantara murid-murid Freud memang ada yang menilai
setiap rasa bersalah sebagai patologis. Contoh terkenal adalah pandangan
psikiater Prancis A. Hesnard (1882 – 1969) dalam bukunya “Moral tanpa dosa”. Ia
berpendapat bahwa manusia harus membebaskan diri dari kecenderungan kurang
sehat untuk berefleksi tentang dirinya dan memelihara suatu kehidupan batin
yang tidak real. Terutama ia harus melepaskan diri dari kebiasaan untuk menaruh
perasaan bersalah. Janganlah dia membiarkan dirinya terganggu oleh penderitaan
yang tidak berguna itu. Sebab, dengan itu ia terkurung saja dalam batinnya dan
tidak terarah pada pembangunan dunia. Rasa bersalah sebagai kecemasan untuk
kecenderungan-kecenderungan tak teratur harus menghilang dan diganti dengan
perbuatan saya. Moral harus menjadi semacam teknik untuk mewujudkan kebahagiaan
bagi manusia, sesamanya dan masyarakat. Untuk itu moral harus dilepaskan dari
latar belakang mistisnya yang gelap dan dibersihkan dari rasa bersalah yang
merongrong ketenangan jiwa.
Psikoanalisis Freud mempunyai jasa besar dalam
memperlihatkan bahwa rasa bersalah sering kali tercampur dengan unsur-unsur
patologis. Rasa bersalah bisa sampai menyiksa seseorang di luar batas. Salah
satu contoh dari Freud sendiri menyangkut seorang pasien yang “mau tidak mau
harus bertanya pada dirinya sendiri, apakah bukan dialah pembunuh yang sedang
dicari polisi sehubungan dengan suatu kasus kejahatan yang telah ditemukan pada
hari itu. Tentu saja, semuanya itu omong kosong belaka dan ia sendiri tahu
bahwa ia belum pernah bersalah terhadap siapapun. Tetapi seandainya ia
sungguh-sungguh pembunuh yang dicari oleh polisi, tidak mungkin rasa bersalah
pada dia akan lebih besar lagi”. Contoh ekstrem ini bisa dilengkapi dengan
banyak contoh lain dimana dengan cara lebih halus rasa bersalah tercampur
dengan kecemasan yang tidak sehat. Tapi tidak boleh kita tarik kesimpulan,
seperti sebenarnya dilakukan oleh Hesnard, bahwa rasa bersalah selalu
patologis. Psikoanalisis justru dapat membantu kita untuk membedakan antara
rasa bersalah yang kurang sehat serta rasa bersalah yang otentik dan dapat
menjaga agar rasa bersalah itu sedapat mungkin otentik, artinya, terpancar
daari kepribadian yang utuh. Freud sendiri pada dasarnya mengandaikan adanya
dua macam rasa bersalah itu, biarpun tidak dijelaskan olehnya secara eksplisit.
Masalah ini terutama penting dalam konteks agama.
Dalam agama, dosa dan kebersalahan memainkan peranan besar. Di hadapan Tuhan
yang Maha Kudus manusia menyadari kebersalahannya dan ia mengharapkan
pengampunan atas dosa-dosanya. Kalau rasa bersalah selalu harus dianggap
patologis (seperti dikatakan A. Hesnard), dari sudut pandang psikologis
perilaku dan sikap orang beriman selalu ditandai oleh faktor patologis juga. Tetapi
kalau kita membedakan rasa bersalah patologis dari rasa bersalah otentik,
menjadi mungkin suatu perilaku dan sikap keagamaan yang bebas dari faktor
psikologis, meskipun penghayatan agara tetap menjadi suatu bidang psikologis
dimana rasa bersalah patologis mudah bisa muncul, justru karena rasa bersalah
di situ begitu penting.
DAFTAR PUSTAKA
Zubair, Charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Poedjawiyatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku.
Jakarta: Rineka Cipta.
Bertens. Etika. 1994. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Held, Virginia. 1991. Etika Moral. Jakarta:
Erlangga.
Admin, 2010. Hati Nurani dan Profesionalisme.
http://serbaunik.info/hati-nurani-dan profesional.cmd
Bertens. K. 2011. ETIKA. Jakarta. Gramedia Pustaka
Utama
Editor, 2010. Hati Nurani.
http://allamandasyifa.wordpress.com/hati-nurani/
Minglie, K. 2010. Hati Nurani itu, Apa ya (2)
http://filsafat.kompasiana.com/2012/10/04/hati-nurani-itu-apa-ya-2/
Nashrulloh, A. 2009. Filsafat Hati Nurani (Bag. 1).
http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2012/10/04/filsafat-hati-nurani-bag-1/
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5830-apakah-hati-nurani-itu
http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=522:menghidupkan-hati-nurani&catid=14:politik-hukum-dan-ham&Itemid=131
http:/4112-hati-nurani.html
http://www.sabda.org/reformed/hati_nurani_dan_moral
http://www.antara.co.id/view/?i=1174484778&c=ART&s=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar