Pengenalan
Filsafat
1. Permulaan Mempelajari Filsafat
a. Secara Historis
Dengan cara mempelajari sejarah perkembangannya,
sejak pemunculan hingga sekarang.
b. Secara Sistematis
Dengan cara mempelajari isinya yaitu mempelajari
bidang pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (cabang-cabang
filsafat), misalnya:
Metafisika
Membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di balik
fisis, meliputi bidang-bidang ontologi,kosmologi, dan antropologi.
Epistemologi
Berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
Logika
Berkaitan dengan persoalan filsafat berpikir, yaitu
rumus-rumus dan dalil-dalil berpikir yang benar.
Etika
Berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.
Estetika
Berkaitan dengan hakikat keindahan.
.
Arti Filsafat
a. Arti secara Etimologi
• Filsafat = Indonesia
• Falsafah = Arab
• Philosophy = Inggris
• Philosophia= Latin
• Philosophie= Jerman, Belanda, Perancis
Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani
philosophia. Istilah Yunani philein berarti “mencintai”, sedangkan philos
berarti “teman”. Istilah sophos berarti “bijaksana”, sedangkan sophia berarti
“kebijaksanaan”.
Pythagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama
kali memakai kata philosophia. Ia menyebut dirinya philosophos, yaitu pecinta
kebijaksanaan (lover of wisdom).
b. Filsafat Sebagai Suatu Sikap
Filsafat adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan
alam semesta. Sikap dewasa secara filsafat adalah sikap menyelidiki secara
kritis, terbuka, toleran, dan selalu bersedia meninjau suatu problem dari sudut
pandang yang mendalam
c. Filsafat Sebagai Suatu Metode
Filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif
(mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan
teliti. Metode berpikir semacam ini bersifat inclusvie (mencakup secara luas)
dan synoptic (secara garis besar).
d. Filsafat Sebagai Kelompok Persoalan
Banyak persoalan abadi (perennial problems) yang
dihadapi manusia dan para filsuf berusaha memikirkan dan menjawabnya.
e. Filsafat Sebagai Sekelompok Teori atau Sistem
Pemikiran
Teori atau sistem filsafati itu dimunculkan oleh
masing-masing filsuf untuk menjawab masalah-masalah.
f. Filsafat Sebagai Analisis Logis tentang Bahasa
dan Penjelasan Makna Istilah
Kebanyakan para filsuf memakai metode analisis untuk
menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan
bahwa analisis tenteng arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas
analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Mereka berpendirian bahwa
bahasa merupakan laboraorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan
mengembangkan ide-ide.
g. Filsafat Merupakan Usaha untuk Memperoleh
Pandangan yang Menyeluruh
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan
dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang
konsisten.
3. Timbulnya Filsafat
a. Keheranan (dalam bahasa Yunani thaumasia)
Manusia adalah makhluk yang dapat heran
terhadaphal-hal yang dijumpainya. Ia heran terhadap lingkungan hidupnya bahkan
dapat heran terhadap dirinya sendiri sehingga ia akan mengajukan pertanyaan
yang bercorak kefilsafatan untuk mengetahui hakikat atau esensi yang ditanyakan
itu.
b. Kesangsian (ragu-ragu)
Para filsuf pada wawl pemunculannya adalah mereka
yang meragukan cerita-cerita mitos dan mulai berspekulasi dengan menggunakan
akalnya.
c. Kesadaran akan keterbatasan
Manusia mulai berfilsafat kalau ia mulai menyadari
betapa kecil dan lemah ia, dibandingkan dengan alam semesta di sekelilingnya.
4. Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Kumpulan
pengetahuan untuk dapat disebut ilmu harus memiliki syarat-syarat tertentu,
yaitu obyek material dan obyek formal.
a. Obyek Material
Adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran
(gegenstand). Sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari.
b. Obyek Formal
Adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan
oleh seorang pemikir atau peneliti terhadap obyek materialnya serta
prinsip-prinsip yang digunakannya.
5. Hubungan Ilmu dengan Filsafat
Pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah
filsafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Sehingga ada yang
mengatakan bahwa filsafat sebagai “induk” atau “ibu” ilmu pengetahuan atau
“mater scientiarum”. Karena obyek material filsafat sangat umum yaitu seluruh
kenyataan.
6. Persoalan Filsafat
Ciri- ciri persoalan filsafat adalah sebagai
berikut:
a. Bersifat sangat umum
Persoalan filsafat tidak bersangkutan dengan
obyek-obyek khusus.
b. Bersifat spekulatif
Berusaha untuk menduga kemungkinan yang akan
terjadi. Para filsuf telah memberikan sumbangan yang penting dengan
terkaan-terkaan yang cerdik (intelligent guesses).
c. Bersangkutan dengan nilai-nilai (values)
Persoalan filsafat bertalian dengan keputusan
tentang pernilaian moral, estetis, agama, dan social. Nilai adalah suatu
kualitas abstrak yang ada pada suatu hal yang dapat menimbulkan rasa senang,
puas, dll. bagi orang yang mengalami dam menghayatinya.
d. Bersifat kritis
Filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap
konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya dengan begitu saja oleh ilmuwan tanpa
pemeriksaan secara kritis.
e. Bersifat sinoptik
Meninjau hal-hal atau benda-benda secara menyeluruh.
f. Bersifat implikatif
Kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab,
maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling
berhubungan.
7. Berpikir secara Kefilsafatan
a. Radikal
Berpikir sampai ke akar-akarnya, tentang
hakikat,esensi dan substansi.
b. Universal (umum)
Berpikir tentang hal-hal atau proses-proses yang
bersifat umum, bersangkutan dengan pengalaman umum dari umat manusia, serta
memuat kesimpulan yang universal.
c. Konseptual
Hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
individu.
d. Koheren dan Konsisten
Koheren berarti sesuai dengan kaidah-kaidah
berpikir, sedangkan konsisten berarti tidak mengandung kontradiksi
e. Sistematik
Kebulatan dari sejumlah unsure yang saling
berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau
menekankan sesuatu peranan tertentu.
f. Komprehensif
Menjelaskan alam semesta secara keseluruhan
g. Bebas
Bebas dari prasangka sosial, historis, kultural,
atau religious.
h. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab terhadap hati nurani yang bertumpu
pada kebebasan berpikir degan etika.
8. Persoalan-persoalan dan Cabang-cabang Filsafat
a. Persoalan-persoalan filsafat
• Persoalan keberadaan (being) / eksistensi
(existence)
• Persoalan pengetahuan (knowledge) / kebenaran
(truth)
• Persoalan nilai-nilai (values)
b. Cabang-cabang filsafat
• Metafisika
Memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang
gejala-gejala fisik, seperti bergerak,berubah, hidup, mati.
o Persoalan ontologis
o Persoalan kosmologis
o Persoalan antropologis
• Epistomologi
Cabang filsafat yang mempelajari asal mula (sumber),
struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
• Logika
Ilmu, kecakapan, atau alat untuk berpikir secara
lurus (correct thinking)
• Etika
Menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia (teori
tentang baik dan buruk)
• Estetika
1.
Manfaat mempelajari filsafat ilmu pengetahuan
a) Dengan berfilsafat, seseorang akan lebih menjadi
manusia, karena terus melakukan perenungan akan menganalisa hakikat jasmani dan
hakikat rohani manusia dalam kehidupan di dunia agar bertindak bijaksana;
b) Dengan berfilsafat seseorang dapat memaknai makna
hakikat hidup manusia, baik dalam lingkup pribadi maupun social;
c) Kebiasaan menganalisis segala sesuatu dalam hidup
seperti yang diajarkan dalam metode berfilsafat, akan menjadikan seseorang
cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam
problema kehidupan, sehingga mampu meraiih kualitas, keunggulan;
d) Dengan berfilsafat manusia selalu dilatih,
dididik untuk berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan
mendalam;
e) Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk
mampu meningkatkan kualitas berfikir secara mandiri keberagaman dan keunggulan
orang lain;
f) Belajar filsafat akan memberikan dasar-dasar semua
bidang kajian pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis atau pemahaman
atas hakikat kesatuan semua pengetahuan dan kehidupan manusia lebih dipimpin
oleh pengetahuan yang baik.
2. Ruang lingkup dan kedudukan filsafat
Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat
yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu . Bidang ini
mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk
di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu
sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha
untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep
dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut
dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan
alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi;
formulasi dan penggunaan metode ilmiah
3.
Sejarah perkembangan ilmu
a) Zaman Pra Yunani Kuno
Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai
peralatan. Oleh karena itu, zaman pra Yunani Kuno disebut juga zaman Batu yang
berkisar antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun Sebelum Masehi sisa
peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini (dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat, 1996) antara lain :
a. Alat-alat dari batu
b. Tulang belulang hewan
c. Sisa beberapa tanaman
d. Gambar di gua-gua
e. Tempat penguburan
f. Tulang-belulang manusia purba
b) Zaman Yunani Kuno
Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan
filsafat, karena pada zaman ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan
ide-ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan
filsafat, karena bangsa Yunani pada masa itu tidak lagi mempercayai
mitologi-mitologi.
c) Zaman Abad Pertengahan
Zaman abad pertengahan ditandai dengan tampilnya
para teolog di lapangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini hampir
semua adalah para teolog, sehingga aktivitas terkait dengan aktivitas
keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla
theologia atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa banyak juga temuan
dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini.
d) Zaman Renaissance
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan
kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance adalah zaman
peralihan ketika kebudayaan abad Pertengahan mulai berubah menjadi suatu
kebudayaan modern. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri,
tidak didasarkan atas campur tangan Ilahi. Penemuan ilmu pengetahuan modern sudah
mulai dirintis pada zaman Renaissance. Ilmu pengetahuan yang berkembang maju
pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal seperti Roger
Bacon, Copernicus, Johannes Keppler, Galileo Galilei.
e) Zaman Modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam
bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya
sudah dirintis sejak zaman Renaissance. Seperti Rene Descartes, tokoh yang
terkenal sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes juga seorang ahli ilmu
pasti. Penemuannya dalam ilmu pasti adalah sistem koordinat yang terdiri atas
dua garis lurus X dan Y dalam bidang datar.
f) Zaman Kontemporer
Zaman kontemporer ini ditandai dengan penemuan
berbagai teknologi canggih. Teknologi canggih komunikasi dan informasi termasuk
salah satu yang mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer,
berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga
mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam.
Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara mendalam. Ilmu
kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau
super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Disamping kecenderungan kearah
spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan
lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang
dewasa ini dikenal dengan teknologi kloning.
4.
Landasan penelahan ilmu
Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui
proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari
pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan
pengetahuan tersebut diperoleh dengan menggunakan metode keilmuan secara sah
disebut keilmuan.
Berdasarkan pertimbangan nilai yang diperhatikan,
maka pandangan para ilmuan dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu :
a. Para ilmuan yang hanya menggunakan satu
pertimbangan nilai yaitu nilai kebenaran dan mengesampingkan pertimbangan
nilai-nilai metafisik lain. Prinsip ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan
menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya ukuran;
b. Para ilmuan yang memandang sangat perlu
dimasukannya pertimbangan nilai-nilai etik, kesusilaan dan kegunaan untuk
melengkapi pertimbangan nilai kebenaran yang akhirnya sampai pada prinsip bahwa
ilmu pengetahuan harus taut nilai.
5.
Sarana berfikir ilmiah
Berfikir merupakan sebuah proses yang membuahkan
pengetahuan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dari saran berpikir ilmiah adalah:
a) Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan
kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah;
b) Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk
memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah
dengan baik maka diperlukan sarana berpikir ilmiah yaitu bahasa, matematika,
dan statistika
B.Pengertian
Filsafat Ilmu
Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran
yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan
saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan
filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan
keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan
menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan
dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu
yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan
pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan
heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh
karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari
ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain
seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar,
mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut
Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan
objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu
cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami
apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
C.Pengertian Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi
kenyataan dalam alam manusia.
Beberapa pendapat para ahli tentang ilmu pengetahuan
:
Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diartikan sebagai common
science yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap
benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi
yang teliti dan kritis).
Dr. Mohammad Hatta mendefinisikan “Tiap-tiap ilmu pengetahuan yang
teratur tentang pekerjaan kausal dalam satu golongan masalah yang sama
tabiatnya, baik menurut kedudukannya tampak dari luar maupun menurut
bangunannya dari dalam.”
J. Habarer mendefinisikan “ Suatu
hasil aktivitas manusia yang merupakan kumpulan teori, metode dan praktek dan
menjadi pranata dalam masyarakat.”
Louis Leahy mendefinisikan “Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan
kesempurnaan. Seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik kalau
dibanding dengan yang tidak tahu apa-apa
The Liang Gie mendefinisikan
“Ilmu sebagai pengetahuan, artinya ilmu adalah sesuatu kumpulan yang
sistematis, atau sebagai kelompok pengetahuan teratur mengenai pokok soal atau
subject matter. Dengan kata lain bahwa pengetahuan menunjuk pada sesuatu yang
merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu.
1. Karakteristik Ilmu Pengetahuan
Karakteristik ilmu pengetahuan di antaranya sebdagai berikut :
1.
Konkrit, yaitu dapat diukur kebenarannya.
2.
Kehadiran objek dan subjek tidak dapat dipisahkan atau memiliki
keterkaitan satu sama lainnya.
3. Tidak
terbatas sehingga masih banyak ilmu pengetahuan yang harus digali lagi dan
tidak mempunyai keterbatasan tertentu.
4.
Metodologi yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
5.
Rasionalis ; Penalarannya berdasarkan ide yang dianggap jelas dan dapat
diterima oleh akal.
6. Wahyu
; Tidak menggunakan penalaran, tetapi menggunakan wahyu sebagai sumber
pengetahuan.
7. Hasil
ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama
8.
Kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan
9.
Obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi
2. Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan
Menurut
The Liang Gie (1987) ilmu pengetahuan mempunyai 5 ciri pokok yaitu :
1.
Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2.
Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
3.
Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan
dan kesukaan pribadi
4.
Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke
dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan
peranan dari bagian-bagian itu
5.
Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.
Menurut
Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
1.
Obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan
tidak berdasarkan pada emosional subyektif,
2.
Koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan;
3.
Reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat
ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi,
4. Valid;
produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat
keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun eksternal,
5.
Memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum,
6.
Akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi,
dan
7. Dapat
melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas
kemungkinan-kemungkinan suatu hal.
3. Syarat-Syarat Ilmu :
Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu
apabila dapat memenuhi persyaratan-persyaratan, sebagai berikut
1. Ilmu
mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan alam
(kosmologi) maupun tentang manusia (Biopsikososial).
2. Ilmu
mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan dan
teknik tertentu.
3. Pokok
permasalahan (subject matter atau focus of interest). ilmu mensyaratkan adanya
pokok permasalahan yang akan dikaji.
Jadi seluruh bentuk ilmu pengetahuan dapat digolongkan kedalam kategori
ilmu pengetahuan dimana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh
karakterristik obyek ontologis, landasan epistemologis, dan landasan
aksiologis.
Salah satu
dari bentuk ilmu pengetahuan ditandai dengan :
1. Obyek
Ontologis : yaitu pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat dijangkau
lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan panca indra.
2.
Landasan Epistemologis : metode ilmiah yang berupa gabungan logika
deduktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut logico hypotetico
verifikasi.
3.
Landasan Aksiologis : kemaslahatan umat manusia artinya segenap wujud
ilmu pengetahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia
D.Peranan
filsafat dalam Ilmu pengetahuan
Semakin banyak manusia tahu, semakin banyak pula
pertanyaan yang timbul dalam dirinya. Manusia ingin tahu tentang asal dan
tujuan hidup, tentang dirinya sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya,
dan berbagai hal lainnya. Sikap seperi ini pada dasarnya sudah menghasilkan
pengetahuan yang sangat luas, yang secara metodis dan sistematis dapat dibagi
atas banyak jenis ilmu.
Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia
dalam mengorientasikan diri dalam dunia dan memecahkan berbagai persoalan
hidup. Berbeda dari binatang, manusia tidak dapat membiarkan insting mengatur
perilakunya. Untuk mengatasi masalah-masalah, manusia membutuhkan kesadaran
dalam memahami lingkungannya. Di sinilah ilmu-ilmu membantu manusia
mensistematisasikan apa yang diketahui manusia dan mengorganisasikan proses pencariannya.
Pada abad modern ini, ilmu-ilmu pengetahuan telah
merasuki setiap sudut kehidupan manusia. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena
ilmu-ilmu pengetahuan banyak membantu manusia mengatasi berbagai masalah
kehidupan. Prasetya T. W. dalam artikelnya yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu
Pengetahuan Paul Karl Feyerabend” mengungkapkan bahwa ada dua alasan mengapa
ilmu pengetahuan menjadi begitu unggul. Pertama, karena ilmu pengetahuan
mempunyai metode yang benar untuk mencapai hasil-hasilnya. Kedua, karena ada
hasil-hasil yang dapat diajukan sebagai bukti keunggulan ilmu pengetahuan. Dua
alasan yang diungkapkan Prasetya tersebut, dengan jelas menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan memainkan peranan yang cukup penting dalam kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, ada pula tokoh yang justru anti
terhadap ilmu pengetahuan. Salah satu tokoh yang cukup terkenal dalam hal ini
adalah Paul Karl Feyerabend. Sikap anti ilmu pengetahuannya ini, tidak berarti
anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi anti terhadap kekuasaan ilmu
pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud utamanya. Feyerabend menegaskan
bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tidak menggunguli bidang-bidang dan bentuk-bentuk
pengetahuan lain. Menurutnya, ilmu-ilmu pengetahuan menjadi lebih unggul karena
propaganda dari para ilmuan dan adanya tolak ukur institusional yang diberi
wewenang untuk memutuskannya.
Sekalipun ada berbagai kontradiksi tentang
keunggulan ilmu pengetahuan, tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan
sesungguhnya memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
tidak terlepas dari peranan ilmu pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi
masalah-masalah hidupnya, walaupun kadang-kadang ilmu pengetahuan dapat pula
menciptakan masalah-masalah baru.
Meskipun demikian, pada kenyataannya peranan ilmu
pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah kehidupannya sesungguhnya
terbatas. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, keterbatasan
itu terletak pada cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan yang hanya membatasi diri
pada tujuan atau bidang tertentu. Karena pembatasan itu, ilmu pengetahuan tidak
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang keseluruhan manusia. Untuk
mengatasi masalah ini, ilmu-ilmu pengetahuan membutuhkan filsafat. Dalam hal
inilah filsafat menjadi hal yang penting.
C.Verhaak dan R.Haryono Imam dalam bukunya yang
berjudul Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu,
menjelaskan dua penilaian filsafat atas kebenaran ilmu-ilmu. Pertama, filsafat
ikut menilai apa yang dianggap “tepat” dan “benar” dalam ilmu-ilmu. Apa yang
dianggap tepat dalam ilmu-ilmu berpulang pada ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal
ini filsafat tidak ikut campur dalam bidang-bidang ilmu itu. Akan tetapi,
mengenai apa kiranya kebenaran itu, ilmu-ilmu pengetahuan tidak dapat
menjawabnya karena masalah ini tidak termasuk bidang ilmu mereka. Hal-hal yang
berhubungan dengan ada tidaknya kebenaran dan tentang apa itu kebenaran dibahas
dan dijelaskan oleh filsafat. Kedua, filsafat memberi penilaian tentang
sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan pengetahuan manusia guna mencapai
kebenaran.
Dari dua penilaian filsafat atas kebenaran ilmu-ilmu di atas, dapat
dillihat bahwa ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu pasti) tidak langsung
berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran. Usaha ilmu-ilmu itu lebih
merupakan suatu sumbangan agar pengetahuan itu sendiri semakin mendekati
kebenaran. Filsafatlah yang secara langsung berperan dalam usaha manusia untuk
mencari kebenaran. Di dalam filsafat, berbagai pertanyaan yang berhubungan
dengan kebenaran dikumpulkan dan diolah demi menemukan jawaban yang memadai.
Franz Magnis Suseno mengungkapkan dua arah filsafat dalam usaha mencari
jawaban dari berbagai pertanyaan sebagai berikut: pertama, filsafat harus
mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai. Kedua, filsafat harus ikut
mencari jawaban yang benar. Kritikan dan jawaban yang diberikan filsafat
sesungguhnya berbeda dari jawaban-jawaban lain pada umumnya. Kritikan dan
jawaban itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya berarti bahwa setiap langkah
harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan, serta harus
dipertahankan secara argumentatif dengan argumen-argumen yang objektif. Hal ini
berarti bahwa kalau ada yang mempertanyakan atau menyangkal klaim kebenaran
suatu pemikiran, pertanyaan dan sangkalan itu dapat dijawab dengan argumentasi
atau alasan-alasan yang masuk akal dan dapat dimengerti.
Dari berbagai penjelasan di atas, tampak jelas bahwa
filsafat selalu mengarah pada pencarian akan kebenaran. Pencarian itu dapat
dilakukan dengan menilai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada secara kritis sambil
berusaha menemukan jawaban yang benar. Tentu saja penilaian itu harus dilakukan
dengan langkah-langkah yang teliti dan dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Penilaian dan jawaban yang diberikan filsafat sendiri, senantiasa
harus terbuka terhadap berbagai kritikan dan masukan sebagai bahan evaluasi
demi mencapai kebenaran yang dicari.
Inilah yang menunjukkan kekhasan filsafat di hadapan
berbagai ilmu pengetahuan yang ada. Filsafat selalu terbuka untuk berdialog dan
bekerjasama dengan berbagai ilmu pengetahuan dalam rangka pencarian akan
kebenaran. Baik ilmu pengetahuan maupun filsafat, bila diarahkan secara tepat
dapat sangat membantu kehidupan manusia.
Membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi
yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki
paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring
dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya
sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia
Hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia
didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan
melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir
ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan.antara ilmu Pengetahuan dan
ilmu Filsafat ada persamaan dan perbedaannya.Ilmu Pengetahuan bersifat
Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara
berulang-ulang sedangkan Filsafat bersifat priori kesimpulannya ditarik tanpa
pengujian,sebab Filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang
dimiliki ilmu karena Filsafat bersifat Spekulatif.Disamping adanya perbedaan
antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari
kebenaran.Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan
kesemestaan aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan
fakta sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana
sesungguhnya fakat itu darimana awalnya dan akan kemana akhirnya
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari
bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen
berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio,
pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai
kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu
tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat,
fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu
dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode
fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan
fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert
(1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala
(fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif
ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam
karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk
menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan
mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena
indera-indera lahiriah.
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi
dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu
pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang
sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada
umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk
atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak.
Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari
pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan
historis dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu
analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis,
konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan
pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse
(kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak
intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari
ilmu-ilmu empiris.
A.
Fenomenologi
merupakan metode dan filsafat
. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang
murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik
fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri
kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya
dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang
kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran
kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi
pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian
fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu
den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada
dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan
kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel
Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata
fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan
noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran
pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang
nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk
menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya
termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya.
Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah
realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas.
Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi)
dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara
sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat
fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat
positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam
tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat
positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri
sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol.
Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam
konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan
partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme
menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua
variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata
cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif.
Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada
generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat
fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan
subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap
makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan
dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan
penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya
memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya
hanya berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang
kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas
nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih
luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik
dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh
tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond),
tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme,
utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan
filsafat yang lain.
B.
Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk
mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami
sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran
kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang
nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan
suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya
seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak
menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami
fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada
bendanya sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah
menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan
suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu
mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara
menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang
sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala
sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus
ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich
vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh
dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar
natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl
menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda
(epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis
atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat
macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang
mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam
kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan
atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data
yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi
fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau
intisari realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut
seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
C.
Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa
ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep
ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau
membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan
subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of
European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep
“dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi
(mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir
positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai
sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya
adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan
(angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena
para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula
impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa
dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam
spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan
ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni
unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya
atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi
yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan
suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui
begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan
terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia
sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial
mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial,
dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu.
Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan
yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses
yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini
adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk
menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun
pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu
benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek
sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan
sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem
simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang
membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan
dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan
metodologisnya.
D.
Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat
mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data.
Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan
dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar
objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya
sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian
fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial,
sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini
menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh
ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian
keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi
sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk
mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai
pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan,
merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan
nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa
tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status
pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian
bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan
secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara
dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah
dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap
subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara
subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya
berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu.
Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat
digenaralisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral,
2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.
Bagus, Lorens, 1996,
Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
Connolly, Peter, (Ed.),
2002, Approaches to the Study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekan
Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.
Delgaauw, Bernard,
2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ghazali, Adeng Muchtar,
2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.
Kasiram, Moh., 2003,
Strategi Penelitian Tesis Program Magister by Research, Malang: Program
Pascasarjana UIIS Malang.
Muslih, Moh., 2005,
Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Belukar.
Sills, David L., (Ed.),
1968, International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Crowell
Collier & Macmillan, Inc.
Sutrisno, FX. Mudji ,
dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman,
Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar