Senin, 19 Oktober 2015

Pengenalan Filsafat



Pengenalan Filsafat
1. Permulaan Mempelajari Filsafat
a. Secara Historis
Dengan cara mempelajari sejarah perkembangannya, sejak pemunculan hingga sekarang.
b. Secara Sistematis
Dengan cara mempelajari isinya yaitu mempelajari bidang pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (cabang-cabang filsafat), misalnya:
 Metafisika
Membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di balik fisis, meliputi bidang-bidang ontologi,kosmologi, dan antropologi.
 Epistemologi
Berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
 Logika
Berkaitan dengan persoalan filsafat berpikir, yaitu rumus-rumus dan dalil-dalil berpikir yang benar.
 Etika
Berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.
 Estetika
Berkaitan dengan hakikat keindahan.
. Arti Filsafat
a. Arti secara Etimologi
• Filsafat = Indonesia
• Falsafah = Arab
• Philosophy = Inggris
• Philosophia= Latin
• Philosophie= Jerman, Belanda, Perancis
Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Istilah sophos berarti “bijaksana”, sedangkan sophia berarti “kebijaksanaan”.
Pythagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosophia. Ia menyebut dirinya philosophos, yaitu pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom).
b. Filsafat Sebagai Suatu Sikap
Filsafat adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta. Sikap dewasa secara filsafat adalah sikap menyelidiki secara kritis, terbuka, toleran, dan selalu bersedia meninjau suatu problem dari sudut pandang yang mendalam

c. Filsafat Sebagai Suatu Metode
Filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti. Metode berpikir semacam ini bersifat inclusvie (mencakup secara luas) dan synoptic (secara garis besar).

d. Filsafat Sebagai Kelompok Persoalan
Banyak persoalan abadi (perennial problems) yang dihadapi manusia dan para filsuf berusaha memikirkan dan menjawabnya.

e. Filsafat Sebagai Sekelompok Teori atau Sistem Pemikiran
Teori atau sistem filsafati itu dimunculkan oleh masing-masing filsuf untuk menjawab masalah-masalah.

f. Filsafat Sebagai Analisis Logis tentang Bahasa dan Penjelasan Makna Istilah
Kebanyakan para filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tenteng arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Mereka berpendirian bahwa bahasa merupakan laboraorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide.

g. Filsafat Merupakan Usaha untuk Memperoleh Pandangan yang Menyeluruh
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten.

3. Timbulnya Filsafat
a. Keheranan (dalam bahasa Yunani thaumasia)
Manusia adalah makhluk yang dapat heran terhadaphal-hal yang dijumpainya. Ia heran terhadap lingkungan hidupnya bahkan dapat heran terhadap dirinya sendiri sehingga ia akan mengajukan pertanyaan yang bercorak kefilsafatan untuk mengetahui hakikat atau esensi yang ditanyakan itu.
b. Kesangsian (ragu-ragu)
Para filsuf pada wawl pemunculannya adalah mereka yang meragukan cerita-cerita mitos dan mulai berspekulasi dengan menggunakan akalnya.
c. Kesadaran akan keterbatasan
Manusia mulai berfilsafat kalau ia mulai menyadari betapa kecil dan lemah ia, dibandingkan dengan alam semesta di sekelilingnya.

4. Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Kumpulan pengetahuan untuk dapat disebut ilmu harus memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu obyek material dan obyek formal.
a. Obyek Material
Adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand). Sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari.
b. Obyek Formal
Adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang pemikir atau peneliti terhadap obyek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya.

5. Hubungan Ilmu dengan Filsafat
Pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Sehingga ada yang mengatakan bahwa filsafat sebagai “induk” atau “ibu” ilmu pengetahuan atau “mater scientiarum”. Karena obyek material filsafat sangat umum yaitu seluruh kenyataan.

6. Persoalan Filsafat
Ciri- ciri persoalan filsafat adalah sebagai berikut:
a. Bersifat sangat umum
Persoalan filsafat tidak bersangkutan dengan obyek-obyek khusus.
b. Bersifat spekulatif
Berusaha untuk menduga kemungkinan yang akan terjadi. Para filsuf telah memberikan sumbangan yang penting dengan terkaan-terkaan yang cerdik (intelligent guesses).
c. Bersangkutan dengan nilai-nilai (values)
Persoalan filsafat bertalian dengan keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama, dan social. Nilai adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada suatu hal yang dapat menimbulkan rasa senang, puas, dll. bagi orang yang mengalami dam menghayatinya.
d. Bersifat kritis
Filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya dengan begitu saja oleh ilmuwan tanpa pemeriksaan secara kritis.
e. Bersifat sinoptik
Meninjau hal-hal atau benda-benda secara menyeluruh.
f. Bersifat implikatif
Kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan.

7. Berpikir secara Kefilsafatan
a. Radikal
Berpikir sampai ke akar-akarnya, tentang hakikat,esensi dan substansi.
b. Universal (umum)
Berpikir tentang hal-hal atau proses-proses yang bersifat umum, bersangkutan dengan pengalaman umum dari umat manusia, serta memuat kesimpulan yang universal.
c. Konseptual
Hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman individu.
d. Koheren dan Konsisten
Koheren berarti sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir, sedangkan konsisten berarti tidak mengandung kontradiksi
e. Sistematik
Kebulatan dari sejumlah unsure yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menekankan sesuatu peranan tertentu.
f. Komprehensif
Menjelaskan alam semesta secara keseluruhan
g. Bebas
Bebas dari prasangka sosial, historis, kultural, atau religious.
h. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab terhadap hati nurani yang bertumpu pada kebebasan berpikir degan etika.

8. Persoalan-persoalan dan Cabang-cabang Filsafat
a. Persoalan-persoalan filsafat
• Persoalan keberadaan (being) / eksistensi (existence)
• Persoalan pengetahuan (knowledge) / kebenaran (truth)
• Persoalan nilai-nilai (values)
b. Cabang-cabang filsafat
• Metafisika
Memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik, seperti bergerak,berubah, hidup, mati.
o Persoalan ontologis
o Persoalan kosmologis
o Persoalan antropologis
• Epistomologi
Cabang filsafat yang mempelajari asal mula (sumber), struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
• Logika
Ilmu, kecakapan, atau alat untuk berpikir secara lurus (correct thinking)
• Etika
Menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia (teori tentang baik dan buruk)
• Estetika

1. Manfaat mempelajari filsafat ilmu pengetahuan
a) Dengan berfilsafat, seseorang akan lebih menjadi manusia, karena terus melakukan perenungan akan menganalisa hakikat jasmani dan hakikat rohani manusia dalam kehidupan di dunia agar bertindak bijaksana;
b) Dengan berfilsafat seseorang dapat memaknai makna hakikat hidup manusia, baik dalam lingkup pribadi maupun social;
c) Kebiasaan menganalisis segala sesuatu dalam hidup seperti yang diajarkan dalam metode berfilsafat, akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan, sehingga mampu meraiih kualitas, keunggulan;
d) Dengan berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan mendalam;
e) Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas berfikir secara mandiri keberagaman dan keunggulan orang lain;
f) Belajar filsafat akan memberikan dasar-dasar semua bidang kajian pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis atau pemahaman atas hakikat kesatuan semua pengetahuan dan kehidupan manusia lebih dipimpin oleh pengetahuan yang baik.
2.  Ruang lingkup dan kedudukan filsafat
Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu . Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah
3. Sejarah perkembangan ilmu
a) Zaman Pra Yunani Kuno
Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Oleh karena itu, zaman pra Yunani Kuno disebut juga zaman Batu yang berkisar antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun Sebelum Masehi sisa peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini (dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, 1996) antara lain :
a. Alat-alat dari batu
b. Tulang belulang hewan
c. Sisa beberapa tanaman
d. Gambar di gua-gua
e. Tempat penguburan
f. Tulang-belulang manusia purba
b) Zaman Yunani Kuno
Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada zaman ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat, karena bangsa Yunani pada masa itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi.
c) Zaman Abad Pertengahan
Zaman abad pertengahan ditandai dengan tampilnya para teolog di lapangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah para teolog, sehingga aktivitas terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla theologia atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa banyak juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini.
d) Zaman Renaissance
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad Pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Ilahi. Penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis pada zaman Renaissance. Ilmu pengetahuan yang berkembang maju pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal seperti Roger Bacon, Copernicus, Johannes Keppler, Galileo Galilei.
e) Zaman Modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Renaissance. Seperti Rene Descartes, tokoh yang terkenal sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes juga seorang ahli ilmu pasti. Penemuannya dalam ilmu pasti adalah sistem koordinat yang terdiri atas dua garis lurus X dan Y dalam bidang datar.
f) Zaman Kontemporer 
Zaman kontemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi canggih komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara mendalam. Ilmu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Disamping kecenderungan kearah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknologi kloning.
4. Landasan penelahan ilmu
Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan menggunakan metode keilmuan secara sah disebut keilmuan.
Berdasarkan pertimbangan nilai yang diperhatikan, maka pandangan para ilmuan dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu :
a. Para ilmuan yang hanya menggunakan satu pertimbangan nilai yaitu nilai kebenaran dan mengesampingkan pertimbangan nilai-nilai metafisik lain. Prinsip ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya ukuran;
b. Para ilmuan yang memandang sangat perlu dimasukannya pertimbangan nilai-nilai etik, kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi pertimbangan nilai kebenaran yang akhirnya sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus taut nilai.
5. Sarana berfikir ilmiah
Berfikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dari saran berpikir ilmiah adalah:
a) Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah;
b) Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berpikir ilmiah yaitu bahasa, matematika, dan statistika

B.Pengertian Filsafat Ilmu
Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
          Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

C.Pengertian  Ilmu pengetahuan         

Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Beberapa pendapat para ahli tentang ilmu pengetahuan :

                  Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diartikan sebagai common science yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi yang teliti dan kritis).
                  Dr. Mohammad Hatta mendefinisikan “Tiap-tiap ilmu pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, baik menurut kedudukannya tampak dari luar maupun menurut bangunannya dari dalam.”

                  J. Habarer  mendefinisikan “ Suatu hasil aktivitas manusia yang merupakan kumpulan teori, metode dan praktek dan menjadi pranata dalam masyarakat.”
                  Louis Leahy mendefinisikan “Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan kesempurnaan. Seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik kalau dibanding dengan yang tidak tahu apa-apa
                  The Liang Gie mendefinisikan “Ilmu sebagai pengetahuan, artinya ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis, atau sebagai kelompok pengetahuan teratur mengenai pokok soal atau subject matter. Dengan kata lain bahwa pengetahuan menunjuk pada sesuatu yang merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu.
1.     Karakteristik Ilmu Pengetahuan
       Karakteristik ilmu pengetahuan di antaranya sebdagai berikut :
1.      Konkrit, yaitu dapat diukur kebenarannya.
2.      Kehadiran objek dan subjek tidak dapat dipisahkan atau memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
3.       Tidak terbatas sehingga masih banyak ilmu pengetahuan yang harus digali lagi dan tidak mempunyai keterbatasan tertentu.
4.      Metodologi yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
5.      Rasionalis ; Penalarannya berdasarkan ide yang dianggap jelas dan dapat diterima oleh akal.
6.      Wahyu ; Tidak menggunakan penalaran, tetapi menggunakan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
7.      Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama
8.      Kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan
9.      Obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi

2.      Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan

      Menurut The Liang Gie (1987) ilmu pengetahuan mempunyai   5 ciri pokok yaitu :   
1.      Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2.      Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
3.      Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi
4.      Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu
5.      Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.

      Menurut Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
1.      Obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada emosional subyektif,
2.      Koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan;
3.      Reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi,
4.      Valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun eksternal,
5.      Memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum,
6.      Akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi, dan
7.      Dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

3.     Syarat-Syarat Ilmu :
Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi persyaratan-persyaratan, sebagai berikut
1.      Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan alam (kosmologi) maupun tentang manusia (Biopsikososial).
2.      Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu.
3.      Pokok permasalahan (subject matter atau focus of interest). ilmu mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang akan dikaji.

               Jadi seluruh bentuk ilmu pengetahuan dapat digolongkan kedalam kategori ilmu pengetahuan dimana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh karakterristik obyek ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis.



 Salah satu dari bentuk ilmu pengetahuan ditandai dengan :
1.      Obyek Ontologis : yaitu pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat dijangkau lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan panca indra.
2.      Landasan Epistemologis : metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut logico hypotetico verifikasi.
3.      Landasan Aksiologis : kemaslahatan umat manusia artinya segenap wujud ilmu pengetahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia

D.Peranan filsafat dalam Ilmu pengetahuan
Semakin banyak manusia tahu, semakin banyak pula pertanyaan yang timbul dalam dirinya. Manusia ingin tahu tentang asal dan tujuan hidup, tentang dirinya sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya, dan berbagai hal lainnya. Sikap seperi ini pada dasarnya sudah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas, yang secara metodis dan sistematis dapat dibagi atas banyak jenis ilmu.
Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia dan memecahkan berbagai persoalan hidup. Berbeda dari binatang, manusia tidak dapat membiarkan insting mengatur perilakunya. Untuk mengatasi masalah-masalah, manusia membutuhkan kesadaran dalam memahami lingkungannya. Di sinilah ilmu-ilmu membantu manusia mensistematisasikan apa yang diketahui manusia dan mengorganisasikan proses pencariannya.
Pada abad modern ini, ilmu-ilmu pengetahuan telah merasuki setiap sudut kehidupan manusia. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena ilmu-ilmu pengetahuan banyak membantu manusia mengatasi berbagai masalah kehidupan. Prasetya T. W. dalam artikelnya yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend” mengungkapkan bahwa ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan menjadi begitu unggul. Pertama, karena ilmu pengetahuan mempunyai metode yang benar untuk mencapai hasil-hasilnya. Kedua, karena ada hasil-hasil yang dapat diajukan sebagai bukti keunggulan ilmu pengetahuan. Dua alasan yang diungkapkan Prasetya tersebut, dengan jelas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memainkan peranan yang cukup penting dalam kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, ada pula tokoh yang justru anti terhadap ilmu pengetahuan. Salah satu tokoh yang cukup terkenal dalam hal ini adalah Paul Karl Feyerabend. Sikap anti ilmu pengetahuannya ini, tidak berarti anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud utamanya. Feyerabend menegaskan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tidak menggunguli bidang-bidang dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Menurutnya, ilmu-ilmu pengetahuan menjadi lebih unggul karena propaganda dari para ilmuan dan adanya tolak ukur institusional yang diberi wewenang untuk memutuskannya.
Sekalipun ada berbagai kontradiksi tentang keunggulan ilmu pengetahuan, tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari peranan ilmu pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah-masalah hidupnya, walaupun kadang-kadang ilmu pengetahuan dapat pula menciptakan masalah-masalah baru.
Meskipun demikian, pada kenyataannya peranan ilmu pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah kehidupannya sesungguhnya terbatas. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, keterbatasan itu terletak pada cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan yang hanya membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Karena pembatasan itu, ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang keseluruhan manusia. Untuk mengatasi masalah ini, ilmu-ilmu pengetahuan membutuhkan filsafat. Dalam hal inilah filsafat menjadi hal yang penting.
C.Verhaak dan R.Haryono Imam dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, menjelaskan dua penilaian filsafat atas kebenaran ilmu-ilmu. Pertama, filsafat ikut menilai apa yang dianggap “tepat” dan “benar” dalam ilmu-ilmu. Apa yang dianggap tepat dalam ilmu-ilmu berpulang pada ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal ini filsafat tidak ikut campur dalam bidang-bidang ilmu itu. Akan tetapi, mengenai apa kiranya kebenaran itu, ilmu-ilmu pengetahuan tidak dapat menjawabnya karena masalah ini tidak termasuk bidang ilmu mereka. Hal-hal yang berhubungan dengan ada tidaknya kebenaran dan tentang apa itu kebenaran dibahas dan dijelaskan oleh filsafat. Kedua, filsafat memberi penilaian tentang sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan pengetahuan manusia guna mencapai kebenaran.
             Dari dua penilaian filsafat atas kebenaran ilmu-ilmu di atas, dapat dillihat bahwa ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu pasti) tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran. Usaha ilmu-ilmu itu lebih merupakan suatu sumbangan agar pengetahuan itu sendiri semakin mendekati kebenaran. Filsafatlah yang secara langsung berperan dalam usaha manusia untuk mencari kebenaran. Di dalam filsafat, berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan kebenaran dikumpulkan dan diolah demi menemukan jawaban yang memadai.
              Franz Magnis Suseno mengungkapkan dua arah filsafat dalam usaha mencari jawaban dari berbagai pertanyaan sebagai berikut: pertama, filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai. Kedua, filsafat harus ikut mencari jawaban yang benar. Kritikan dan jawaban yang diberikan filsafat sesungguhnya berbeda dari jawaban-jawaban lain pada umumnya. Kritikan dan jawaban itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
               Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya berarti bahwa setiap langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan, serta harus dipertahankan secara argumentatif dengan argumen-argumen yang objektif. Hal ini berarti bahwa kalau ada yang mempertanyakan atau menyangkal klaim kebenaran suatu pemikiran, pertanyaan dan sangkalan itu dapat dijawab dengan argumentasi atau alasan-alasan yang masuk akal dan dapat dimengerti.
Dari berbagai penjelasan di atas, tampak jelas bahwa filsafat selalu mengarah pada pencarian akan kebenaran. Pencarian itu dapat dilakukan dengan menilai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada secara kritis sambil berusaha menemukan jawaban yang benar. Tentu saja penilaian itu harus dilakukan dengan langkah-langkah yang teliti dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Penilaian dan jawaban yang diberikan filsafat sendiri, senantiasa harus terbuka terhadap berbagai kritikan dan masukan sebagai bahan evaluasi demi mencapai kebenaran yang dicari.
Inilah yang menunjukkan kekhasan filsafat di hadapan berbagai ilmu pengetahuan yang ada. Filsafat selalu terbuka untuk berdialog dan bekerjasama dengan berbagai ilmu pengetahuan dalam rangka pencarian akan kebenaran. Baik ilmu pengetahuan maupun filsafat, bila diarahkan secara tepat dapat sangat membantu kehidupan manusia.
Membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia
Hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan.antara ilmu Pengetahuan dan ilmu Filsafat ada persamaan dan perbedaannya.Ilmu Pengetahuan bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan Filsafat bersifat priori kesimpulannya ditarik tanpa pengujian,sebab Filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena Filsafat bersifat Spekulatif.Disamping adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran.Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakat itu darimana awalnya dan akan kemana akhirnya

Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.

Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.

Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

A.    Fenomenologi merupakan metode dan filsafat
. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
           
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.

Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).

Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.

Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.

Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.

B. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri).

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.

Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.

2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.

3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.

4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

C. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan

Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.

Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.

Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.

Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

D. Kritik Terhadap Fenomenologi

Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.

Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.

Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.

Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.


















DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.
Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.
Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ghazali, Adeng Muchtar, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.
Kasiram, Moh., 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister by Research, Malang: Program Pascasarjana UIIS Malang.
Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Sills, David L., (Ed.), 1968, International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Crowell Collier & Macmillan, Inc.
Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar